SERIBU rupiah. Jumlah yang bagi sebagian orang mungkin tak berarti apa-apa—setara sebatang permen, ongkos parkir, atau sisa kembalian yang tak sempat dimasukkan ke dompet. Tapi di tangan seorang gubernur, seribu rupiah bisa jadi ide besar: simbol gotong royong, kesetiakawanan sosial, bahkan—dalam tafsir politis—“semangat kemandirian daerah”.
Lewat Surat Edaran No. 149/PMD.03.04/KESRA bertajuk Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengajak seluruh warga, termasuk ASN, siswa sekolah, dan masyarakat umum, menyisihkan Rp1.000 per hari. Tujuannya mulia: membantu sesama dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Namun, sebagaimana sering terjadi di negeri yang trauma oleh pungutan tanpa transparansi, niat baik itu segera menimbulkan badai curiga.
Ketika “Imbauan” Berubah Jadi “Kewajiban”
Bagi Firmansyah, warga Purwakarta, surat edaran itu lebih terasa seperti “paksaan halus”. “Sukarela, tapi kalau ada surat edaran, kan jadinya harus rela,” ujarnya getir.
Sementara Happy, warga Bandung, melihatnya sebagai duplikasi program lama: Sabilulungan, Beas Perelek, atau program bantuan sosial yang sudah berjalan bertahun-tahun.
Skeptisisme mereka tak muncul tanpa alasan. Di negeri di mana sumbangan sosial kadang disalurkan lewat jalur politik, setiap rupiah yang dipungut pemerintah—betapapun kecilnya—mengandung pertanyaan klasik: ke mana uang ini akan pergi?
Gerakan Mulia, Tapi Tanpa Payung Hukum
Analis kebijakan dari KPPOD, Eduardo Edwin Ramda, menilai program ini “tak punya dasar hukum yang kokoh.” Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, tak ada ruang bagi pemerintah daerah memungut sumbangan di luar pajak dan retribusi.
Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012—yang jadi landasan Gubernur Dedi—pengumpulan sumbangan masyarakat tidak boleh diatur nominalnya dan harus benar-benar sukarela.
Dengan kata lain, jika Rp1.000 itu diatur lewat surat resmi pemerintah, maka niat baik bisa berbalik arah: dari semangat gotong royong menjadi kesan “pungutan legal”.
“Bahasa di atas imbauan, tapi bisa jadi di bawah nadanya pemaksaan,” ujar Edwin. Dan dalam sejarah panjang birokrasi kita, celah seperti itu sering dimanfaatkan oknum.
Di Antara Kearifan Lokal dan Keletihan Publik
Sekda Jawa Barat, Herman Suryatman, menegaskan gerakan ini bukan hal baru, melainkan revitalisasi kearifan lokal: rereongan, beas perelek, jimpitan—tradisi berbagi yang melekat pada masyarakat Sunda dan Jawa sejak ratusan tahun lalu.
Namun, konteks sosial hari ini sudah berubah. Gotong royong dulu lahir dari ruang sosial yang setara: petani membantu tetangga, warga membangun jembatan tanpa pamrih. Sekarang, gotong royong sering bergulir dari atas ke bawah—ditentukan lewat surat edaran, diumumkan lewat aplikasi, diawasi birokrasi.
Di titik itulah makna “kesukarelaan” diuji. Apakah rakyat masih percaya bahwa uang seribu mereka benar-benar untuk menolong sesama, bukan untuk mempercantik citra pejabat?
Krisis yang Lebih Dalam: Kepercayaan
Uang Rp1.000 itu bukan masalahnya. Yang lebih mahal dari seribu rupiah adalah kepercayaan publik.
Kepercayaan yang rapuh oleh terlalu banyak janji dan terlalu sedikit transparansi.
Kepercayaan yang terkikis oleh korupsi bantuan sosial, dana hibah fiktif, dan proyek “demi rakyat” yang tak pernah sampai ke tangan rakyat.
Mungkin Gubernur Dedi benar: Jawa Barat perlu membangkitkan kembali budaya rereongan. Tapi gotong royong tidak bisa dipulihkan dengan surat edaran; ia hanya tumbuh dalam ruang yang jujur dan terbuka—di mana rakyat melihat, menyentuh, dan tahu persis kemana uang mereka pergi.
Rp1.000 untuk Solidaritas, atau untuk Ujian Integritas?
Bila dilihat dari sisi optimistik, Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu adalah bentuk kreatif menghadapi pemangkasan dana transfer pusat.
Tapi di sisi lain, ia memperlihatkan betapa rawannya etika tata kelola publik kita—di mana ide “partisipasi warga” bisa dengan mudah tergelincir jadi “pungutan berkedok sosial”.
Gotong royong seharusnya tumbuh dari kepercayaan, bukan perintah. Dan mungkin, pelajaran terbesar dari polemik Rp1.000 ini adalah bahwa Indonesia tidak sedang kekurangan uang—kita sedang kekurangan keyakinan bahwa uang itu dikelola dengan benar.***





















