GELOMBANG protes melanda Gedung Sate, Bandung, ketika ratusan sopir bus pariwisata, pelaku usaha biro perjalanan, dan pelaku sektor pariwisata lainnya turun ke jalan. Mereka menyuarakan penolakan terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat yang melarang sekolah-sekolah menyelenggarakan kegiatan studi tour.
Larangan yang diberlakukan pasca beberapa insiden kecelakaan pelajar dalam perjalanan ini dinilai memberangus satu ekosistem ekonomi yang telah lama hidup dan menggeliat di sektor pendidikan dan pariwisata.
“Mengapa baru sekarang dilarang?” seru salah satu orator dalam aksi demonstrasi. Pertanyaan itu menggema di antara massa yang mayoritas menggantungkan penghasilan dari rombongan studi tour sekolah. “Dulu tak ada yang keberatan, tak ada orang tua yang komplain!” ujar lainnya.
Memang benar, selama bertahun-tahun, studi tour telah menjadi semacam ritual tahunan di hampir setiap sekolah. Bukan sekadar kegiatan tambahan, studi tour dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran luar ruang yang menyenangkan dan dinantikan siswa.
Namun, zaman telah berubah. Di tengah sorotan publik dan meningkatnya transparansi, kegiatan ini tak lagi bisa dipandang sebatas tradisi.
Kini publik menuntut keterbukaan – dari motif hingga manfaatnya. Banyak orang tua mulai menyuarakan keraguan terhadap urgensi kegiatan ini. Sebab, di balik kemasan edukatif, tersimpan berbagai kepentingan.
Baca Juga : Pemprov Jabar Resmi Larang Study Tour ke Luar Provinsi & Wisuda Mewah: “Sekolah Bukan Ajang Gengsi”
Pertama, motif ekonomi. Tak dapat disangkal, penyelenggaraan studi tour menjadi ladang pemasukan yang menjanjikan – baik bagi sekolah, panitia, maupun penyedia jasa pariwisata. Jika satu sekolah memberangkatkan 300 siswa dengan biaya Rp1,3 juta per siswa, dan terdapat fee marketing sebesar Rp200 ribu, maka ada potensi dana “tambahan” Rp60 juta yang tidak tercatat secara resmi. Ini membuka ruang abu-abu yang sulit dikontrol dalam sistem pendidikan.
Kedua, motif pendidikan. Meski sering disebut sebagai kegiatan studi tiru atau kunjungan industri, sebagian besar studi tour nyatanya hanya menyisipkan unsur edukasi sekadar sebagai pelengkap formalitas – selebihnya diisi agenda wisata.
Ketiga, motif wisata dan rekreasi. Ini yang paling dominan. Kegiatan lebih condong ke pelesiran, mengunjungi tempat-tempat rekreasi populer, bahkan kadang ke luar kota atau luar pulau. Dalam praktiknya, siswa lebih menikmati sisi liburan daripada aspek pembelajarannya.
Baca Juga : Dedi Mulyadi Soal Demo Larangan Study Tour: “Yang Marah Justru Bukti Itu Bukan Belajar, Tapi Piknik”
Gubernur pun berdiri di tengah kontroversi ini. Di satu sisi, larangan itu dianggap langkah preventif yang melindungi siswa dan meminimalkan penyimpangan.
Namun di sisi lain, sektor pariwisata menjerit. Pelarangan mendadak dinilai tanpa solusi alternatif, membuat ribuan pelaku usaha kehilangan penghasilan, terutama pasca-pandemi yang belum lama berlalu.
Apakah kebijakan ini solutif atau justru reaktif? Perlukah studi tour dihapus total, atau hanya direformasi agar lebih transparan dan edukatif?
Yang jelas, larangan ini telah membuka kotak pandora. Apa yang dulu dianggap hal biasa, kini mulai dipertanyakan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan baru di dunia pendidikan – sekaligus mengguncang ekosistem ekonomi yang selama ini tersembunyi di balik euforia studi tour.***
Dr. Deden Sukirman, MM, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bandung
Penulis : Dr. Deden Sukirman, MM




















