Bandung, Mevin.ID – Aroma konflik agraria kembali menyengat Kota Bandung. Ribuan warga Kampung Pasir Koja, Kelurahan Sukahaji, kini hidup dalam ketidakpastian. Lahan yang mereka tempati selama puluhan tahun tiba-tiba diklaim sebagai milik perusahaan swasta.
Namun situasi berubah ketika Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi turun langsung ke lokasi. Dalam unggahan Instagram pribadinya, Dedi menyebut sudah berada di tengah-tengah warga Sukahaji, Selasa (15/4/2025), dan siap menjadi penengah konflik yang makin pelik.
“Saya sudah berada di Kampung Pasir Koja. Ini warga mendiami tanah milik perusahaan PT. Sakura di antaranya,” tulis Dedi dalam videonya.
Konflik ini mencuat usai muncul klaim dari PT Sakura, yang menyebut tanah itu akan digunakan kembali oleh perusahaan.
Merasa terancam, warga meminta Gubernur turun tangan. Dedi pun menawarkan solusi: mempertemukan warga dan perusahaan, dengan dirinya sebagai fasilitator.
“Kalau pemilik sertifikat memang benar PT. Sakura, ayo datang ke sini. Biar warga dengar langsung. Kalau memang warga harus pindah, bisa dinegosiasikan dengan cara yang manusiawi,” tegasnya.
Menariknya, beberapa warga menyatakan siap pindah asal ada kejelasan dan bantuan kontrakan. Tapi benarkah segampang itu?
Lihat postingan ini di Instagram
Pemkot Angkat Suara: Kalau Tak Punya Surat, Harus Pindah
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan turut buka suara. Dalam pernyataannya, Farhan menegaskan bahwa warga yang tidak memiliki alas hak alias bukti kepemilikan tanah, mau tak mau harus hengkang.
“Kalau enggak punya surat, dan surat sah ada di orang lain, ya harus pindah. Tapi tenang, akan kami beri uang kerohiman untuk sewa kontrakan,” katanya, Senin (14/4).
Farhan juga menyebut kemungkinan relokasi warga ke rumah susun (rusunawa), meski tidak bisa secepat itu. Solusi ini disebut masih menunggu proses administrasi dan ketersediaan unit.
Di Balik Sengketa: Bertahun-Tahun Tinggal, Kini Disebut Menyerobot
Konflik ini bukan cerita baru. Warga di RW 01, 02, 03, dan 04 Sukahaji telah tinggal di tanah garapan itu sejak puluhan tahun lalu.
Pada 2009, lahan mereka mulai diklaim oleh dua orang: Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar. Sejak saat itu, tekanan terus datang, dari intimidasi hingga iming-iming “uang kerohiman”.
“Tahun 2011, kami ditawari Rp750 ribu per KK buat pindah. Tapi warga menolak,” ungkap Warsidi, tokoh warga dan penggerak Forum Warga Sukahaji Melawan.
Pertemuan demi pertemuan digelar, termasuk dengan pihak kecamatan, BPN, dan perusahaan. Namun bukti yang disodorkan pun disebut tak masuk akal.
Dari 82 sertifikat yang diklaim perusahaan, hanya 11 yang ditunjukkan—dan itu pun bukan di Sukahaji.
“Kita cek, malah sertifikatnya di Jamika dan Pagarsih. Lalu kenapa tanah kita yang mau digusur?” tanya Ronal, warga lainnya.
Warga juga menyoal keabsahan data sertifikat yang disebut berubah-ubah tiap tahun. Nama sama, tapi lokasi beda. Luas lahan juga tak konsisten.
Kebakaran, Trauma, dan Ketakutan Baru
Warga Sukahaji masih menyimpan trauma lama. Tahun 2018, kebakaran hebat melanda wilayah ini. Puluhan jongko dan rumah hangus. Kini, ancaman datang lagi—bukan dari api, tapi dari penggusuran.
“Saya sampai begadang tiap malam. Takut ada kejadian seperti dulu. Kami ronda tiap malam sekarang,” kata Ahmadin, Ketua RT 04.
Ahmadin juga mengkritik keras aksi sepihak pemasangan plang dan seng tanpa dasar hukum yang jelas. Ia meminta perusahaan menunjukkan bukti legal dan menyerahkan proses kepada pengadilan.
“Kami Bukan Warga Liar!”
Satu hal yang paling menyakitkan bagi warga adalah perlakuan tidak manusiawi. Warsidi, yang sudah tinggal puluhan tahun di sana, merasa dianggap ilegal di tanah sendiri.
“Kami punya KTP, ikut pemilu, warga tetap kok! Tapi diperlakukan seperti liar,” tegasnya.
Senada, Rundiati (55) menyebut, ia siap pindah bila bukti sah kepemilikan ditunjukkan. Namun sejauh ini, semua surat yang ditunjukkan dianggapnya belum jelas.
“Mereka tunjukin surat, tapi pas dicek nggak asli. Kalau benar punya hak, ayo buktikan di pengadilan. Jangan intimidasi,” katanya.
Zona Kumuh, Zona Sengketa?
Masalah bertambah rumit ketika wilayah Sukahaji disebut sebagai zona kumuh sejak 2022. Status ini membuat warga semakin sulit mengakses hak dasar seperti air bersih dan infrastruktur.
Di sisi lain, pihak perusahaan malah gencar melakukan pendekatan dengan tenggat: rumah harus dikosongkan paling lambat 7 April 2025.
Sayangnya, hingga berita ini tayang, kuasa hukum dari pihak perusahaan, Rizal Nusi and Partners, belum merespons permintaan konfirmasi dari berbagai media.
Akhirnya? Masih Panjang
Konflik agraria di Sukahaji jadi potret buram tata kelola tanah di kota besar. Warga yang menggantungkan hidup di lahan selama puluhan tahun kini dipaksa memilih: tetap bertahan atau angkat kaki—dengan atau tanpa kejelasan.
Satu yang pasti, warga Sukahaji tidak akan tinggal diam. Setidaknya, hingga mereka mendapatkan apa yang selama ini mereka perjuangkan: hak untuk hidup layak, tanpa rasa takut.***
Penulis : Adi Prakoso
Editor : Dedi Barnadi





















