Harga Sebuah Jiwa: Bagaimana Uang Mengubah Persahabatan Menjadi Transaksi

- Redaksi

Sabtu, 11 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI PAGI hari yang dingin, seorang filsuf dan sosiolog Jerman bernama Georg Simmel mungkin sedang menyesap kopi sambil mengamati hiruk pikuk jalanan Berlin.

Ia tidak hanya melihat bangunan atau orang-orang yang terburu-buru, melainkan melihat sesuatu yang lebih dalam: benang halus yang merajut—atau justru merobek—seluruh kehidupan modern: uang.

Bagi Simmel, uang bukanlah sekadar alat tukar. Melalui karyanya yang monumental, The Philosophy of Money (Filosofi Uang), ia menyajikan sebuah kisah yang suram namun jujur: kisah bagaimana lembaran kertas, atau kini, deretan angka digital, telah mengubah segalanya dalam diri kita dan masyarakat kita.

Ketika Jiwa Dijual Eceran

Dulu, hubungan sosial didasarkan pada ikatan pribadi: kesetiaan, persahabatan, atau kewajiban. Anda membantu tetangga Anda karena Anda mengenalnya, bukan karena upah. Tetapi, Simmel melihat uang masuk dan mengubah setiap ikatan menjadi transaksi.

Uang telah mentransformasi hal-hal yang dulunya tidak bernilai menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan.

Pikirkan tentang seni. Dahulu, seorang seniman melukis karena panggilan jiwa. Kini, nilai sebuah karya seringkali diukur dari nol di belakang angkanya. Atau pikirkan tentang waktu.

Waktu yang dulu dihabiskan untuk merenung kini berlabel “waktu adalah uang”—sebuah komoditas yang harus diisi dengan kegiatan yang menghasilkan keuntungan.

Uang membuat hubungan menjadi impersonal dan fungsional. Simmel menunjukkan bahwa kita tidak lagi berinteraksi dengan orang seutuhnya, melainkan dengan fungsi orang itu: dia adalah “kasir,” dia adalah “pengantar paket,” dia adalah “karyawan.”

Kemanusiaan di balik peran itu menjadi kabur, digantikan oleh nilai moneter atas jasa yang mereka berikan.

Kota dan Sikap ‘Blasé’

Simmel sangat terpesona dengan kehidupan kota besar, dan ia percaya uang adalah arsitek utama kota itu. Di kota, kita dihujani rangsangan yang tak terhitung jumlahnya. Untuk bertahan, jiwa kita mengembangkan mekanisme pertahanan yang ia sebut sikap “Blasé” (sikap acuh tak acuh).

Sikap ini adalah respons logis terhadap dominasi uang. Ketika segalanya memiliki harga, dan setiap interaksi bersifat cepat dan transaksional, kita kehilangan kemampuan untuk benar-benar merasakan dan peduli. Kita harus menjaga jarak emosional agar tidak kewalahan.

Inilah kisahyang menyedihkan: kita menjadi kaya dalam hal pilihan finansial, tetapi miskin dalam hal koneksi emosional.

Kita mungkin punya uang untuk membeli segalanya, tetapi kita tidak punya waktu atau energi emosional untuk menikmati persahabatan yang tulus.

Uang memberikan kebebasan objektif (kemampuan untuk membeli), tetapi seringkali merenggut kebebasan subjektif (kemampuan untuk hidup dengan jiwa yang utuh).

Kebebasan yang Menjerat

Ironisnya, uang yang seharusnya membebaskan kita, justru menjerat kita dalam kerangkanya. Simmel mengakui bahwa uang adalah pencapaian terbesar manusia karena ia menawarkan fleksibilitas dan universalitas. Kita tidak lagi terikat pada sistem barter yang kaku.

Namun, di saat yang sama, uang menciptakan rasa keterasingan. Kita terus mengejar sesuatu yang tidak memiliki nilai intrinsik (lembaran kertas atau angka), hanya karena ia mewakili nilai-nilai lain.

Kita menjadi budak dari proses akumulasi, dan kekhawatiran finansial menjadi agama baru yang mengatur setiap keputusan kita.

Karya Simmel adalah sebuah panggilan untuk refleksi: bukan untuk meninggalkan uang, yang mustahil dilakukan di era modern, melainkan untuk memeriksa di mana kita meletakkan nilai sejati.

Apakah kita membiarkan uang mendefinisikan hubungan kita, mengukur harga diri kita, dan mengatur setiap jam hidup kita?

Kisah uang yang diuraikan Simmel adalah kisah tentang jiwa modern—jiwa yang telah diukur, dihitung, dan dipertukarkan, dan yang kini harus berjuang untuk menemukan kembali nilai-nilai yang tidak bisa dibeli.***

– Serial Filsafat –

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya
Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates
Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai
Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital
Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex
Ketersendirian Pahlawan dan Mandat untuk Menang: Filosofi Eksistensialisme dalam Perjuangan Pribadi
Ketangguhan Desa dan Sinergi Pentahelix Hadapi Krisis Iklim
Marsinah, Antara Pengakuan dan Penghapusan

Berita Terkait

Jumat, 14 November 2025 - 11:59 WIB

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Jumat, 14 November 2025 - 09:25 WIB

Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates

Jumat, 14 November 2025 - 08:02 WIB

Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai

Kamis, 13 November 2025 - 19:21 WIB

Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital

Kamis, 13 November 2025 - 15:25 WIB

Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex

Berita Terbaru

Humaniora

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Jumat, 14 Nov 2025 - 11:59 WIB