PERBINCANGAN soal sumber air minum dalam kemasan kembali mengemuka. Video kunjungan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), ke salah satu pabrik air mineral di Subang menjadi pemantik.
Dalam rekaman yang beredar, KDM terlihat terkejut ketika mengetahui air baku yang digunakan berasal dari akuifer tanah, bukan mata air permukaan sebagaimana sering dibayangkan konsumen ketika membaca label “air pegunungan”.
Sebenarnya, keterkejutan itu bukan hal baru.
Beberapa waktu sebelum video itu viral, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, sudah menyampaikan fakta yang sama secara terbuka: sebagian besar air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia diambil dari air tanah, bukan dari aliran permukaan yang langsung tampak di pegunungan.
“Jangan mudah terpedaya oleh label. Belum ada minuman kemasan yang menggunakan air permukaan secara berkelanjutan. Yang digunakan adalah air tanah,” ujar Hanif dalam acara Mindialogue CNBC Indonesia.
Masalahnya Bukan Sekadar “Air Sumur Bor”
Pengambilan air tanah dalam volume besar tidak bisa pulih dengan cepat. Laju peresapan air kembali ke dalam tanah hanya sekitar 100 cm per hari, tergantung kondisi geologi dan tutupan lahan. Bila pengambilan jauh lebih besar dari kemampuan pulihnya, maka:
- Air tanah permukaan akan menipis
- Tanah berpotensi mengalami penurunan (land subsidence)
- Sumur rakyat bisa mengering
- Konflik pemanfaatan air antar-warga dan industri menjadi tak terhindarkan
Di titik ini, pertanyaannya berubah: Siapa yang paling berisiko menanggung kekurangan air ketika cadangan bawah tanah menyusut?
Tentu bukan korporasi pemegang izin.
Danone Aqua Memberikan Penjelasan
Pihak Danone Aqua menjelaskan bahwa air yang digunakan di pabrik Subang memang berasal dari akuifer pegunungan—lapisan air tanah dalam kawasan berbentang tinggi—bukan sekadar sumur bor dangkal biasa.
“Air diambil dari akuifer pegunungan dan dialirkan melalui pipa tertutup untuk menjaga kualitas,” jelas Arif Mujahidin, Corporate Communication Director Danone Aqua.
Artinya, perdebatan bukan soal kualitas air semata, tetapi keberlanjutan sumber daya dan kejujuran komunikasi pada konsumen.
Narasi Besar yang Sering Dilupakan
Industri AMDK tumbuh karena:
- Urbanisasi
- Ketidakpercayaan pada kualitas air ledeng
- Pola hidup praktis
- Lenyapnya akses air bersih gratis sebagai hak publik
Pertanyaan yang kini mengemuka bukan lagi: “Dari mana air ini diambil?” melainkan: “Siapa yang berhak atas air itu?”
Air tanah adalah sumber daya bersama (commons). Ketika ia diekstraksi lebih cepat daripada dipulihkan, yang paling dulu terkena dampaknya adalah masyarakat sekitar.
Kita Perlu Transparansi, Bukan Sensasi
Keriuhan “air sumur bor” sebenarnya adalah pintu menuju diskusi yang jauh lebih penting:
- Apakah tata kelola pengambilan air tanah sudah berkeadilan?
- Bagaimana pengawasan di lapangan berjalan?
- Siapa yang paling rentan jika air tanah terus menyusut?
- Dan mengapa negara membiarkan akses air bersih bergeser dari hak publik menjadi komoditas?
Karena pada akhirnya, air bukan sekadar produk. Ia adalah hak hidup.
Dan ketika kita mulai memperdebatkan “siapa yang berhak minum dari sumur bumi”, di situlah kita sedang menulis arah masa depan kita sebagai bangsa.
Apakah air akan tetap menjadi kepemilikan bersama,
atau akan berubah menjadi milik mereka yang mampu membayar paling mahal?
Pertanyaan itu belum selesai.
Dan kita semua sedang menyaksikan babak pembukaannya.***





















