TANGGAL 20 Mei selalu menjadi pengingat akan Hari Kebangkitan Nasional, sebuah momen yang merayakan dimulainya kesadaran kolektif bangsa Indonesia.
Meskipun tonggak resmi peringatan ini merujuk pada berdirinya Boedi Oetomo, tak lengkap rasanya membicarakan kebangkitan tanpa menengok sosok yang menjulurkan tangannya langsung ke jantung rakyat jelata: Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Bapak Pergerakan Nasional dari Jawa Timur.
Melalui perjalanan hidupnya, HOS Tjokroaminoto membuktikan bahwa pergerakan sejati tidak hanya lahir dari ruang-ruang diskusi kaum priyayi, tetapi dari mobilisasi massa yang terorganisir.
Ia adalah seorang yang menanggalkan status priyayi demi panggilan perjuangan, mengubah Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI), organisasi massa modern pertama di Indonesia yang menjadi wadah perjuangan politik, ekonomi, dan keagamaan bagi masyarakat bumiputera.
Menanggalkan Kemapanan demi Rakyat
Lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882 dari keluarga priyayi, Tjokroaminoto memiliki jalur hidup yang seharusnya mulus dalam hirarki kolonial. Lulusan OSVIA, ia sempat menjabat sebagai pegawai administrasi di Ngawi. Namun, kemapanan tidak mampu membungkam nuraninya.
Kekecewaan terhadap budaya feodalisme dan politik elitis Hindia Belanda membuatnya memilih jalan yang lebih berat: mengundurkan diri pada 1905 dan memimpin revolusi kesadaran.
Titik balik tahun 1912, ketika ia bertemu Haji Samanhudi, menjadi penentu. Dengan visinya yang tajam, Tjokroaminoto mentransformasi SDI menjadi Sarekat Islam, mengubah fokus dari sekadar perdagangan menjadi wadah perjuangan politik yang ambisius.
Di bawah kepemimpinannya, SI berkembang pesat, menjangkau ratusan ribu anggota di berbagai daerah, sebuah bukti nyata dari kemampuan orasinya yang memukau dan gagasannya yang menyentuh akar permasalahan rakyat.
Ia berhasil menjadi jembatan antara cita-cita keagamaan, nasionalisme, dan keadilan sosial.
Tiga Prinsip Sang Guru Bangsa
Julukan “Guru Bangsa” yang melekat pada Tjokroaminoto tidak hanya lahir dari kharisma, tetapi dari warisan intelektualnya. Lingkaran murid-muridnya di rumah kos Gang Peneleh, Surabaya, adalah cikal bakal kepemimpinan Indonesia.
Di antara mereka, terdapat nama-nama besar yang kelak menentukan arah sejarah bangsa: Ir. Soekarno, Semaun, Alimin, Musso, hingga Kartosuwiryo.
Kepada mereka, ia mewariskan sebuah prinsip agung: “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
Prinsip ini mencerminkan integrasi sempurna antara tiga pilar pergerakan:
- Ilmu (Intelektualitas): Bahwa perjuangan harus didasari oleh pengetahuan, analisis, dan pemikiran kritis yang tinggi.
- Tauhid (Spiritualitas dan Integritas): Bahwa perjuangan harus murni, tanpa pamrih, dan didorong oleh keyakinan moral yang kokoh.
- Siasat (Strategi Politik): Bahwa perjuangan harus dilakukan dengan perencanaan dan taktik yang cerdas untuk mencapai tujuan kemerdekaan dan kesejahteraan.
Meskipun murid-muridnya kemudian memilih jalan ideologis yang berbeda (nasionalisme sekuler, komunisme, hingga Islam politik), benang merah kesadaran politik dan semangat melawan kapitalisme kolonial tetap tersemat kuat, ditanamkan oleh Tjokroaminoto di bawah satu atap.
Kebangkitan yang Meluas Lintas Kelas
Jika Boedi Oetomo adalah pelopor kebangkitan kaum terpelajar priyayi yang fokus pada pendidikan dan budaya, Sarekat Islam di bawah Tjokroaminoto adalah kebangkitan rakyat jelata yang menuntut keadilan politik dan ekonomi.
Peran SI inilah yang memperluas makna Kebangkitan Nasional dari sekadar gerakan elite menjadi gerakan kolektif lintas kelas sosial.
Vokalnya perlawanan Tjokroaminoto terhadap ketidakadilan kolonial membuatnya harus mendekam di penjara pada 1920.
Namun, semangatnya tak pernah padam. Setelah bebas, ia tetap aktif dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) hingga akhir hayatnya, fokus menentang kapitalisme yang mencekik rakyat kecil.
Tjokroaminoto wafat pada Desember 1934, sebelum sempat menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Namun, ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai arsitek kesadaran. Ia bukan hanya tokoh pergerakan, tetapi juga seorang katalis yang menggerakkan kesadaran kolektif bangsa—sebuah warisan yang abadi dan relevan, mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang membela rakyat dengan gagasan, keberanian, dan integritas yang tak tergoyahkan.***




















