Jakarta, Mevin.ID – Pemilihan presiden 2024 mungkin telah usai, tapi narasi dan persepsi publik belum berhenti bergulir. Salah satunya adalah soal isu ijazah Presiden Jokowi yang disebut-sebut palsu.
Yang mengejutkan, ternyata banyak pemilih Anies yang mempercayai tudingan ini, bahkan lebih banyak dari yang memilih Ganjar atau Prabowo.
Ini bukan berdasarkan polling acak seperti yang kerap dibagikan oleh tokoh-tokoh di media sosial. Ini hasil survei ilmiah dari Indikator Politik Indonesia, yang dirilis pada 27 Mei 2025.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut survei itu, 75,9% responden mengaku mengetahui isu ijazah palsu Presiden Jokowi. Hanya 24,1% yang mengaku tidak tahu.
Dari 75,9% yang tahu, bila ditelisik berdasarkan afiliasi politik pada Pilpres 2024:
- 40,2% pemilih Anies percaya ijazah Jokowi palsu, sementara 50,9% tidak percaya.
- 20,6% pemilih Ganjar percaya, sedangkan 61,9% tidak percaya.
- Hanya 15,2% pemilih Prabowo yang percaya, dan 71,7% menolak isu tersebut.
Artinya, pemilih Anies adalah kelompok yang paling besar persentase kepercayaannya terhadap isu ijazah palsu Presiden Jokowi, bahkan lebih tinggi daripada pemilih Ganjar atau Prabowo.
Kenapa bisa begitu?
Sebab sebagian besar pemilih Anies adalah mereka yang selama ini punya sikap anti-Jokowi. Sentimen negatif terhadap Jokowi sudah tertanam sejak lama, sejak beliau diboyong ke Jakarta untuk bertarung di Pilgub DKI 2012. Sentimen itu mengeras ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden di 2014 dan menang, lalu kembali menang di 2019.
Mereka adalah orang-orang yang selama ini juga percaya pada berbagai hoaks yang menyerang Jokowi: bahwa beliau non-muslim, keturunan Tionghoa, anak PKI, bahkan agen asing. Narasi-narasi konspiratif itu terus dipelihara dan dipercaya.
Dulu, mereka menjadikan Prabowo sebagai “alat politik” untuk melawan Jokowi. Tapi saat Prabowo masuk kabinet pasca-Pilpres 2019, mereka merasa dikhianati dan berpaling. Maka, ketika Anies muncul sebagai figur yang dianggap “antitesis Jokowi”, mereka langsung berbondong-bondong masuk barisannya.
Mereka mendukung Anies bukan karena program atau visi, tapi karena keyakinan bahwa Anies bisa melanjutkan perjuangan politik mereka untuk “melawan” Jokowi. Ketika Pilpres 2024 berakhir dan Anies kalah, kebencian itu tidak ikut surut—justru mendapat saluran baru lewat isu ijazah palsu.
Tokoh-tokoh seperti Tifa Uzia, Tia Summa, dan Refly Harun, yang sebelumnya aktif mendukung Anies, kini menjadi corong utama penyebaran isu ijazah Jokowi. Padahal berbagai klarifikasi sudah berulang kali disampaikan:
- UGM telah menjelaskan validitas ijazah tersebut.
- KPU dan Bawaslu sudah memverifikasi semua dokumen sejak pencalonan wali kota, gubernur, hingga presiden.
- Puslabfor Polri juga menyatakan ijazah Jokowi asli dan valid.
Namun bagi kelompok ini, kebenaran dianggap ancaman. Mereka menolak percaya, karena mengakui fakta bisa berarti membongkar narasi besar yang mereka bangun selama ini. Dalam dunia mereka, kebenaran tak penting bila tak sesuai dengan keyakinan.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kebencian bisa membutakan, dan hoaks bisa menguat bila dibalut sentimen politik. Orang yang tidak mau berpikir jernih dan menolak bukti akan terus muncul di ruang publik—mereka bukan hanya ada, tapi kini juga bersuara lantang.
Tugas kita? Tetap waras. Tetap kritis. Tetap berpijak pada fakta.***