KOLOM AGUS PAKPAHAN
Izin pada dongeng ini saya menyampaikan bahwa apabila petani padi menyatu dalam satu Koperasi Petani Padi Indonesia (KPPI), maka masalah guremisasi dan berbagai kendala yang selama ini membuat petani padi mengalami kesulitan hidup akan secara bertahap bisa teratasi. Semoga dongeng ini bermanfaat. Salam koperasi.
SERINGKALI kita tidak melihat bahwa petani padi telah menyumbangkan aset produktif yang bernilai sangat besar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Narasi yang ada biasanya lebih banyak menggambarkan petani padi yang semakin miskin, keluarganya yang semakin terdesak oleh kesulitan hidup, dan luas lahannya yang semakin mengecil.
Meskipun benar, hal ini terjadi akibat cara pandang yang keliru. Kekeliruan ini terjadi akibat sejarah agnogenesis.
Tujuan dari dongeng nomor ini adalah menunjukkan bahwa dengan sedikit mengubah sudut pandang, kita bisa melihat bahwa kontribusi petani padi secara agregat sebagai the real investors sangatlah besar, melebihi banyak investasi kelompok lainnya.
Pendirian Koperasi Petani Padi
Indonesia (KPPI) adalah langkah strategis untuk melahirkan energi dorong gelombang oleh petani dan pertanian yaitu dengan menjadikan persawahan dan gabah hasil petani sebagai modal KPPI dalam menggerakan seluruh sistem pendukungnya.
Dengan demikian ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani menjadi satu paket tujuan pembangunan nasional.
Potensi Awal
Berdasarkan data, luas lahan sawah di Indonesia mencapai 7,46 juta hektar dengan nilai lahan per hektar sekitar Rp 1 miliar.
Dengan produksi padi per hektar sebesar 4 ton dan harga gabah kering panen yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 6,5 juta per ton, KPPI memiliki potensi besar untuk menjadi lembaga yang berdaya juang tinggi.
Nilai Aset Persawahan Petani
Data BPS menyampaikan bahwa luas lahan sawah baku di Indonesia sekitar 7,46 juta hektar. Kalimat ini seringkali tidak memberikan getaran emosional yang kuat.
Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang aset, maka kita akan menemukan bahwa nilai persawahan seluas 7,46 juta hektar tersebut sekitar Rp 7460 triliun, dengan asumsi nilai sawah per hektar Rp 1 miliar.
Nilai ini membuat rasio aset Bulog yang sebesar Rp 50 triliun hanya 0,67% dari nilai aset sawah petani.
Mengapa pertanian padi mengalami kesulitan? Karena kita belum membangun institusi ekonomi dengan baik. Proses entropy pertanian padi atau pencerai-beraian energi budaya-sosial-ekonomi pertanian pangan pokok kita terjadi karena kurangnya pembangunan institusi yang kuat tersebut.
KPPI sebagai Solusi
Strategi yang diperlukan untuk mensyukuri dan membangkitkan energi produksi serta ketahanan ekonomi pangan nasional, khususnya padi adalah pengakuan lahan sawah sebagai aset.
Lahan Sawah sebagai Aset
Lahan sawah yang disupplai oleh petani harus dilihat sebagai aset, bukan hanya sekedar lahan.
Masyarakat petani adalah investor nyata yang membangun persawahan seluas 7,46 juta hektar dengan biaya sendiri. Hasil investasi ini harus dilanjutkan dengan pembangunan industri hulu dan hilir secara berkelanjutan.
Institusi Pengelola
Membangun institusi yang memberi tempat bagi petani padi untuk mendapatkan manfaat dari investasi yang mereka tanamkan. Nilai aset sawah sebesar Rp 7460 triliun bisa menjadi aset KPPI tanpa harus mengubah hak kepemilikan sawah petani.
Aset KPPI diperoleh cukup dengan penyerahan hak pengelolaan dan panen hasil sawah dalam jangka waktu yang memadai kepada KPPI melalui kontrak legal yang diakui secara formal.
Kapasitas KPPI Mendapatkan Modal
Asumsi produksi padi per hektar per tahun adalah 8 ton (dengan 2 kali panen setahun dan produktivitas 4 ton Gabah Kering Giling per hektar). Dengan total luas lahan 7,46 juta hektar, potensi produksi padi KPPI per tahun adalah 59,68 juta ton.
Total nilai potensi produksi padi yang bisa dijadikan agunan oleh KPPI adalah Rp 387,92 triliun (asumsi harga gabah/kg Rp 6500). Nilai ini memungkinkan KPPI mendapatkan modal dalam jumlah yang signifikan dari bank atau lembaga pembiayaan lainnya.
Penjualan Gabah oleh KPPI kepada KBI
Jika ada KBI, KPPI akan menjual gabah kepada KBI seharga Rp 6.500 per kilogram (harga gabah yang diterima petani sesuai dengan penetapan Pemerintah), ditambah biaya operasional 10% dari harga jual. Harga jual gabah dari KPPI ke KBI adalah Rp 7.150 per kilogram.
Total nilai penjualan gabah oleh KPPI kepada KBI mencapai Rp 426,89 triliun.
Dengan asumsi rendemen gabah ke beras 62%, jumlah beras yang dihasilkan mencapai 36,99 juta ton. Harga beras di pasar dipatok Rp 12.000 per kilogram, sehingga total nilai penjualan beras di pasar mencapai Rp 443,97 triliun.
Analisis Keuntungan
Untuk menghitung keuntungan masing-masing pihak, kita perlu mempertimbangkan pendapatan dan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan distribusi padi.
Keuntungan Petani:
Pendapatan per petani per tahun: Rp 15,6 juta (asumsi luas lahan per petani 0.3 ha).
Biaya produksi per petani per tahun: Rp 5,25 juta (0.3 ha sawah).
Keuntungan bersih per petani per tahun: Rp 10,35 juta.
Keuntungan KPPI:
Pendapatan dari penjualan gabah ke KBI: Rp 426,892 triliun.
Biaya produksi dan sewa lahan total: Rp 373 triliun.
Keuntungan bersih KPPI: Rp 53,892 triliun.
Keuntungan KBI:
Pendapatan dari penjualan beras di pasar: Rp 443,976 triliun.
Biaya pembelian gabah dari KPPI: Rp 426,892 triliun.
Biaya operasional maksimal KBI: Rp 17,084 triliun.
Keuntungan bersih KBI: Rp 17,084 triliun.
***
Dengan biaya operasional sebagaimana telah disampaikan, KPPI, KBI, dan petani semuanya akan mendapatkan keuntungan yang signifikan.
Petani mendapatkan keuntungan bersih Rp 10,35 juta per tahun per petani (pada luas sawah 0.3 hektar atau Rp 34,5 juta per hektar per tahun), KPPI memperoleh keuntungan bersih Rp 53,892 triliun, dan KBI memperoleh keuntungan bersih Rp 17,084 triliun.
Strategi dorong gelombang ini menunjukkan potensi keberhasilan pendirian KPPI dalam mengelola produksi padi petani dengan lebih efektif dan menguntungkan, serta mendukung ketahanan pangan nasional.
Bahkan dapat dimaknai bahwa dengan menjadikan gabah petani sebagai kolateral KPPI petani telah menjadi pihak yang memberikan modal awal untuk seluruh proses pembangunan ketahanan pangan dalam konteks ketahanan nasional NKRI.
Hal yang paling penting dalam strategi dorong gelombang ini adalah melihat keseluruhan sistem dalam kerangka ekonomi, terutama melihat petani sebagai the real investor dan Negara membangun seluruh sistem ketahanan pangan (beras) dengan kerangka berpikir ini.
Dengan menggunakan kerangka berpikir ini, penggunaan dana APBN tampak tidak diperlukan, kecuali untuk membangun sistem kelembagaan yang diperlukan.
Meskipun gambaran di atas belum mencerminkan realitas lapangan, bayang-bayang yang diperoleh cukup memberikan stimulasi untuk investasi pemikiran bahwa studi mendetail sangat diperlukan.
Mudah-mudahan dongeng imajinasi ini memberikan gambaran bahwa investasi dalam institusi seperti KPPI dan KBI sangat diperlukan untuk menghadapi persoalan kompleks dalam ketahanan pangan nasional mendatang.
Disclaimer: Isi tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan institusi tempat penulis bekerja.
A.P. Ciburial, 13 Februari 2024
Agus Pakpahan adalah Rektor Ikopin University, pakar ekonomi kelembagaan.
Penulis : Agus Pakhpahan
Editor : Bernade