KETIKA publik dikejutkan oleh kampanye “Indonesia Gelap” dan petisi RUU TNI yang menyebar liar di media sosial beberapa waktu lalu, banyak dari kita mungkin berpikir bahwa itu murni suara protes dari rakyat.
Namun, kenyataan yang terungkap di balik kasus Marcella Santoso menampar kesadaran kita lebih keras dari yang kita duga.
Marcella, seorang pengacara dengan gelar doktor dari universitas ternama, bukan hanya terlibat dalam praktik suap dan perintangan hukum dalam perkara mega korupsi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia juga menjadi dalang penyebaran opini yang sengaja digiring melalui isu-isu sensitif—termasuk menyusupkan narasi “Indonesia Gelap” dan petisi RUU TNI—yang ternyata hanya bagian dari manuver busuk untuk menekan institusi hukum.
Bayangkan, ketika kita klik, membagikan, atau bahkan mendiskusikan petisi atau tagar itu di linimasa media sosial, mungkin tanpa sadar kita sedang menjadi pion dalam permainan para pelindung koruptor.
Demokrasi Dijadikan Tirai
“Indonesia Gelap” dikemas seolah-olah sebagai gerakan moral. Begitu pula petisi soal revisi RUU TNI, yang awalnya menimbulkan kekhawatiran tentang militerisme dan demokrasi.
Tapi siapa sangka, dua narasi itu lahir bukan dari keresahan kolektif publik, melainkan dari ruang-ruang gelap yang sama sekali tidak mengakar pada kepentingan rakyat—melainkan kepentingan para koruptor.
Narasi yang semestinya jadi ruang diskusi demokratis malah disulap menjadi alat sabotase sistem hukum. Di tangan figur seperti Marcella, demokrasi menjadi seperti sutra indah yang membungkus bara kebusukan.
Menyoal Petisi RUU TNI
Petisi tentang revisi RUU TNI memang menyita perhatian karena berkaitan dengan peran militer dalam kehidupan sipil.
Tapi jika kini kita tahu bahwa kampanye itu dimobilisasi oleh figur yang terjerat kasus penghalangan penyidikan dan suap Rp60 miliar kepada hakim, apakah kita masih bisa percaya pada substansinya?
Gerakan sipil yang tulus semestinya berangkat dari kegelisahan publik, bukan dari agenda para pelindung konglomerasi sawit yang tersangkut mega korupsi.
Di Balik #IndonesiaGelap: Kegelapan Itu Nyata
Aksi “Indonesia Gelap” kini terasa seperti satire pahit. Karena justru kegelapan itu bukan datang dari negara yang mereka serang lewat narasi, melainkan dari balik meja pengacara, ruang sidang, dan grup WhatsApp para elite yang menjadikan hukum sebagai komoditas tawar-menawar.
Kegelapan itu ada pada para jaksa yang dibayar untuk diam, pada hakim yang menghitung putusan dengan kalkulator dolar, dan pada pengacara-pengacara intelektual seperti Marcella yang menjual ilmu untuk melindungi para perampok sumber daya bangsa.
Akhir dari Akal Sehat?
Kasus ini membuka satu babak penting dalam demokrasi digital Indonesia: bahwa manipulasi opini publik bukan lagi monopoli negara atau kekuatan besar asing.
Kini, elite dalam negeri yang merasa terancam oleh hukum bisa menyewa tim buzzer, memoles petisi, dan memproduksi viralitas yang membutakan logika publik.
Apakah ini akhir dari akal sehat? Tentu tidak, jika kita sebagai masyarakat mulai waspada, mulai belajar memilah, dan mulai mempertanyakan siapa yang berada di balik setiap narasi besar yang tiba-tiba meledak di internet.
Mari mulai membedakan mana suara rakyat, dan mana suara rekayasa.
Opini ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi pihak mana pun secara personal, tetapi bertujuan membuka ruang refleksi kritis terhadap bagaimana isu demokrasi dan hukum bisa dimanipulasi oleh kekuatan uang dan kuasa.***
Penulis : Bar Bernad