Jakarta, Mevin.ID — Indonesia tercatat berada di peringkat ke-11 sebagai negara dengan kualitas hidup terendah di dunia tahun 2025, menurut laporan World Population Review dan data indeks dari Numbeo.
Posisi ini menempatkan Indonesia tepat di bawah Filipina dan di atas Lebanon, Albania, serta Pakistan. Meski bukan yang terburuk, peringkat ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat tentang tantangan serius dalam kualitas hidup sehari-hari.
Nigeria Terendah, Luksemburg Tertinggi
Laporan tersebut menilai kualitas hidup berdasarkan daya beli masyarakat, tingkat keamanan, layanan kesehatan, biaya hidup, polusi, dan kondisi iklim.
Nigeria menjadi negara dengan skor terendah (15,6), disusul Venezuela dan Bangladesh. Sementara Luksemburg berada di posisi teratas dengan skor 218,2, diikuti Belanda, Denmark, dan Oman.
Indonesia mencatat skor 101,6 — jauh dari standar negara-negara dengan indeks tinggi.
“Meski memiliki indeks keamanan dan kondisi iklim yang cukup baik, Indonesia tertinggal dalam daya beli dan kualitas layanan kesehatan, serta menghadapi tantangan besar pada polusi dan efisiensi transportasi,” demikian laporan Numbeo.
Cermin Kesenjangan di Kota-Kota Besar
Indeks ini bukan sekadar angka statistik. Di banyak kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, kualitas udara kian menurun, kemacetan memburuk, dan biaya hidup melonjak. Upah yang tidak sebanding dengan kebutuhan dasar membuat daya beli masyarakat stagnan.
Di sisi lain, fasilitas kesehatan belum merata. Akses layanan publik—terutama di daerah terpencil—masih jauh dari ideal. Hal-hal inilah yang memperberat skor kualitas hidup nasional.
15 Negara dengan Kualitas Hidup Terendah 2025
1. Nigeria
2. Venezuela
3. Bangladesh
4. Sri Lanka
5. Mesir
6. Iran
7. Peru
8. Kenya
9. Vietnam
10. Filipina
11. Indonesia
12. Lebanon
13. Albania
14. Pakistan
15. Kolombia
Antara Retorika Pembangunan dan Realita Lapangan
Indonesia dikenal sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi relatif stabil, tapi laporan ini menunjukkan jurang besar antara pertumbuhan makroekonomi dan kenyamanan hidup warganya. Infrastruktur yang belum efisien, polusi udara, dan layanan kesehatan yang timpang menjadi faktor penekan utama.
“Stabilitas ekonomi tidak otomatis berarti kualitas hidup meningkat. Masyarakat membutuhkan akses riil: udara bersih, transportasi efisien, layanan kesehatan terjangkau,” ujar salah satu peneliti Numbeo dalam laporannya.
Rapor kualitas hidup ini adalah cermin keras—bukan untuk menjatuhkan, melainkan mengingatkan. Indonesia memiliki sumber daya besar, tapi tanpa tata kelola publik yang efektif, kenyamanan hidup warganya akan terus tertinggal.
Pembangunan bukan hanya jalan tol, tapi juga napas yang bersih, waktu tempuh yang manusiawi, dan biaya hidup yang wajar.***





















