Jakarta, Mevin.ID — Dorongan menertibkan peredaran pakaian bekas impor kembali menguat. Para pengusaha tekstil dan garmen yang tergabung dalam Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) mendatangi kantor Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Selasa (4/11), untuk menyampaikan dukungan pada kebijakan pembatasan thrifting di pasar lokal.
Bagi mereka, persoalan baju bekas bukan sekadar tren anak muda — tetapi ancaman serius bagi keberlangsungan industri tekstil nasional.
“Barang yang masuk lewat kepabeanan seharusnya tidak beredar di pasar domestik. Industri lokal harus mendapat perlindungan agar bisa tumbuh,” kata Anne, perwakilan AGTI.
AGTI membawa peta jalan daya saing industri tekstil: memetakan peluang dan tantangan jangka panjang agar produsen lokal kembali menjadikan pasar dalam negeri sebagai tumpuan, setelah bertahun-tahun terbebani banjir impor murah.
Dalam dua minggu ke depan, roadmap tersebut akan dipaparkan lebih detail kepada pemerintah.
Industri Berusaha Bertahan
Meski tertekan, AGTI mengklaim sejumlah anggota masih melakukan ekspansi — dari penambahan produksi hingga pembukaan lapangan kerja baru. Bahkan ada yang merekrut kembali pekerja yang sempat pensiun.
Tidak terdengar kabar PHK masif untuk saat ini. Sebuah sinyal bahwa industri tekstil belum menyerah.
Pemerintah Siap Perketat Pengawasan
Purbaya menegaskan perdagangan pakaian bekas ilegal akan ditutup. Ia menyoroti balpres — karung besar baju bekas impor — yang terus lolos ke pasar tanpa pajak dan pengawasan.
Kebijakan yang disiapkan antara lain:
- Penertiban impor baju bekas sesuai Permendag No. 40/2022
- Penambahan sanksi denda bagi importir ilegal
- Pengawasan lebih ketat di lini Bea Cukai
“Kita harus membuat domestic base yang kuat. Kalau sudah kuat, baru menyerang pasar luar negeri,” kata Purbaya.
Pertarungan Ekonomi dan Gaya Hidup
Di satu sisi, thrifting diminati generasi muda karena lebih murah dan bernilai gaya. Di sisi lain, industri tekstil adalah penyerap tenaga kerja besar dan penopang ekonomi daerah.
Maka sesungguhnya, yang diperebutkan bukan hanya pasar—melainkan masa depan ekonomi rakyat yang bekerja di balik proses penjahitan tiap potong pakaian.
Siapa yang akan menang?
Kebijakan pemerintah dan ketegasan penegakan hukum akan sangat menentukan.***





















