Ini Bukan Soal Domba, Tapi Soal Kita

- Redaksi

Minggu, 8 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI SEBUAH ruang klinik kecil di tengah kota, seorang lelaki tua duduk memandangi hasil cek laboratorium anaknya. Usianya tak lagi muda, tapi wajahnya tampak lebih lelah dari seharusnya.

Bukan karena penyakit—tapi karena memikul kecemasan terlalu lama. Di seberangnya, sang dokter muda menarik napas sebelum berbicara.

“Pak… hasilnya bagus. Anak Bapak sehat. Tidak ada apa-apa.”

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lelaki itu mengangguk. Tapi tetap tak tersenyum.

“Kalau begitu… kenapa dadanya masih sesak tiap malam? Kenapa ia masih terbangun dengan napas terengah, seolah habis dikejar sesuatu yang tak ada?”

Dokter itu terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Mungkin ini bukan soal tubuhnya, Pak. Tapi soal pikirannya yang kelelahan.”

Lelaki tua itu menatap langit-langit klinik. Seakan mencari jawaban di antara ubin dan lampu neon.

Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam hatinya, satu nama mendadak muncul: Ibnu Sina.

Di Balik Eksperimen Dua Domba

Lebih dari seribu tahun lalu, seorang tabib dan filsuf bernama Ibnu Sina mengajukan pertanyaan yang masih terlalu berani untuk zamannya: Bisakah pikiran membunuh tubuh?

Dan untuk menjawabnya, ia melakukan sesuatu yang hari ini akan dikecam dunia: eksperimen dua domba.

Satu domba hidup dalam damai—diberi makan, dijauhkan dari ancaman. Domba kedua? Diletakkan di samping serigala. Tidak, bukan untuk diterkam.

Serigalanya dikurung. Tidak menyentuhnya. Tapi cukup dilihat. Cukup membuat si domba ketakutan setiap hari. Cukup membuatnya percaya bahwa maut bisa datang kapan saja.

Tak lama kemudian, domba kedua mati. Bukan karena luka. Tapi karena rasa takut yang tak pernah benar-benar terjadi.

Serigala Kita Hari Ini

Hari ini, kita tak hidup berdampingan dengan serigala dalam kandang. Tapi kita hidup berdampingan dengan berita buruk tanpa henti, komentar negatif, ekspektasi orang lain, deadline yang tak pernah selesai, dan perasaan gagal yang kita sembunyikan rapat-rapat.

Itu semua serigala.

Mereka tak menggigit, tapi selalu menatap.

Dan kita, seperti domba kedua itu, mulai perlahan melemah—bukan karena kurang makan atau kurang tidur, tapi karena tak ada ruang lagi untuk merasa aman.

Ini Bukan Soal Domba

Ibnu Sina tidak sedang bercerita soal binatang. Ia sedang menggambarkan kita semua—manusia yang perlahan layu karena memeluk ketakutan yang terus menatap dari balik kandang digital, dari layar ponsel, dari memori masa lalu yang tak kunjung sembuh.

Dan mungkin inilah saatnya kita bertanya:

“Apakah kita hidup seperti domba pertama, yang diberi ketenangan?

Atau kita domba kedua, yang sehat tapi dikelilingi rasa takut yang tak pernah menyentuh, namun perlahan membunuh?”

Kita Tak Butuh Pelindung, Kita Butuh Ruang Aman

Menjaga diri dari stres hari ini bukan lagi sekadar “me time” atau cuti sementara.

Tapi tentang menciptakan kandang kita sendiri. Ruang tenang yang tidak terus-terusan dipenuhi oleh serigala tak terlihat.

Karena ketakutan yang tak terjadi bisa sama mematikannya dengan penyakit yang nyata.

Dan pikiran yang tak diistirahatkan, bisa menjadi peluru pelan yang tak pernah terdengar tapi selalu tepat sasaran.

Belajar dari Sejarah yang Tak Pernah Usang

Eksperimen dua domba itu mungkin sederhana. Tapi dari sana, Ibnu Sina memberi kita warisan besar: jaga pikiranmu, maka tubuhmu akan ikut bertahan.

Jadi jika hari ini kamu merasa berat tanpa tahu kenapa—mungkin kamu sedang hidup di kandang yang salah.

Bukan soal apa yang kamu makan, tapi soal apa yang terus kamu pikirkan.

Karena pada akhirnya…

Ini bukan soal domba. Tapi soal kita.***

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

JKW Mahakam: Kasus Viral yang Menguji Akal Sehat Kita di Era Digital
Mengapa Indonesia Sangat Membutuhkan Sarjana Koperasi (S.Kop)?
Sesendok Nasi, Sekarung Luka: Kisah MK dan Luka Kolektif Kita
Ujian Hidup, Tuhan, dan Batas Kemampuan yang Tersembunyi
Mengapa BUMN dan Konglomerat Swasta Indonesia Kalah Oleh Koperasi CHS di Amerika Serikat?  
Ijazah Jokowi Masih Diragukan? Ternyata Ini Basis Pemilih yang Paling Percaya
Saat Kita Lelah Bukan Karena Tubuh, Tapi Karena Terlalu Ingin Mengatur Segalanya
Mengapa Kaum Intelektual Indonesia Apriori Terhadap Koperasi?: Dekonstruksi Epistemik dalam Bayangan Thomas Sowell 

Berita Terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 22:59 WIB

JKW Mahakam: Kasus Viral yang Menguji Akal Sehat Kita di Era Digital

Sabtu, 14 Juni 2025 - 10:50 WIB

Mengapa Indonesia Sangat Membutuhkan Sarjana Koperasi (S.Kop)?

Sabtu, 14 Juni 2025 - 10:36 WIB

Sesendok Nasi, Sekarung Luka: Kisah MK dan Luka Kolektif Kita

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:49 WIB

Ujian Hidup, Tuhan, dan Batas Kemampuan yang Tersembunyi

Selasa, 10 Juni 2025 - 19:43 WIB

Mengapa BUMN dan Konglomerat Swasta Indonesia Kalah Oleh Koperasi CHS di Amerika Serikat?  

Berita Terbaru

Foto: REUTERS/Pool/Maxim Shemetov

Berita

Prabowo Pilih Hadiri Undangan Putin, Absen di KTT G7

Selasa, 17 Jun 2025 - 09:22 WIB