DI SEBUAH ruang klinik kecil di tengah kota, seorang lelaki tua duduk memandangi hasil cek laboratorium anaknya. Usianya tak lagi muda, tapi wajahnya tampak lebih lelah dari seharusnya.
Bukan karena penyakit—tapi karena memikul kecemasan terlalu lama. Di seberangnya, sang dokter muda menarik napas sebelum berbicara.
“Pak… hasilnya bagus. Anak Bapak sehat. Tidak ada apa-apa.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lelaki itu mengangguk. Tapi tetap tak tersenyum.
“Kalau begitu… kenapa dadanya masih sesak tiap malam? Kenapa ia masih terbangun dengan napas terengah, seolah habis dikejar sesuatu yang tak ada?”
Dokter itu terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Mungkin ini bukan soal tubuhnya, Pak. Tapi soal pikirannya yang kelelahan.”
Lelaki tua itu menatap langit-langit klinik. Seakan mencari jawaban di antara ubin dan lampu neon.
Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam hatinya, satu nama mendadak muncul: Ibnu Sina.
Di Balik Eksperimen Dua Domba
Lebih dari seribu tahun lalu, seorang tabib dan filsuf bernama Ibnu Sina mengajukan pertanyaan yang masih terlalu berani untuk zamannya: Bisakah pikiran membunuh tubuh?
Dan untuk menjawabnya, ia melakukan sesuatu yang hari ini akan dikecam dunia: eksperimen dua domba.
Satu domba hidup dalam damai—diberi makan, dijauhkan dari ancaman. Domba kedua? Diletakkan di samping serigala. Tidak, bukan untuk diterkam.
Serigalanya dikurung. Tidak menyentuhnya. Tapi cukup dilihat. Cukup membuat si domba ketakutan setiap hari. Cukup membuatnya percaya bahwa maut bisa datang kapan saja.
Tak lama kemudian, domba kedua mati. Bukan karena luka. Tapi karena rasa takut yang tak pernah benar-benar terjadi.
Serigala Kita Hari Ini
Hari ini, kita tak hidup berdampingan dengan serigala dalam kandang. Tapi kita hidup berdampingan dengan berita buruk tanpa henti, komentar negatif, ekspektasi orang lain, deadline yang tak pernah selesai, dan perasaan gagal yang kita sembunyikan rapat-rapat.
Itu semua serigala.
Mereka tak menggigit, tapi selalu menatap.
Dan kita, seperti domba kedua itu, mulai perlahan melemah—bukan karena kurang makan atau kurang tidur, tapi karena tak ada ruang lagi untuk merasa aman.
Ini Bukan Soal Domba
Ibnu Sina tidak sedang bercerita soal binatang. Ia sedang menggambarkan kita semua—manusia yang perlahan layu karena memeluk ketakutan yang terus menatap dari balik kandang digital, dari layar ponsel, dari memori masa lalu yang tak kunjung sembuh.
Dan mungkin inilah saatnya kita bertanya:
“Apakah kita hidup seperti domba pertama, yang diberi ketenangan?
Atau kita domba kedua, yang sehat tapi dikelilingi rasa takut yang tak pernah menyentuh, namun perlahan membunuh?”
Kita Tak Butuh Pelindung, Kita Butuh Ruang Aman
Menjaga diri dari stres hari ini bukan lagi sekadar “me time” atau cuti sementara.
Tapi tentang menciptakan kandang kita sendiri. Ruang tenang yang tidak terus-terusan dipenuhi oleh serigala tak terlihat.
Karena ketakutan yang tak terjadi bisa sama mematikannya dengan penyakit yang nyata.
Dan pikiran yang tak diistirahatkan, bisa menjadi peluru pelan yang tak pernah terdengar tapi selalu tepat sasaran.
Belajar dari Sejarah yang Tak Pernah Usang
Eksperimen dua domba itu mungkin sederhana. Tapi dari sana, Ibnu Sina memberi kita warisan besar: jaga pikiranmu, maka tubuhmu akan ikut bertahan.
Jadi jika hari ini kamu merasa berat tanpa tahu kenapa—mungkin kamu sedang hidup di kandang yang salah.
Bukan soal apa yang kamu makan, tapi soal apa yang terus kamu pikirkan.
Karena pada akhirnya…
Ini bukan soal domba. Tapi soal kita.***
Penulis : Bar Bernad