Teheran, Mevin.ID – Konflik Iran–Israel memasuki babak paling berbahaya dalam sejarahnya. Di tengah desakan internasional untuk meredakan ketegangan, Iran secara tegas menolak membuka negosiasi gencatan senjata.
Bagi Teheran, berbicara damai di bawah desingan rudal bukanlah pilihan.
“Iran telah menyampaikan dengan jelas kepada mediator dari Qatar dan Oman: mereka hanya akan mempertimbangkan perundingan setelah memberikan balasan atas serangan Israel,” ungkap seorang pejabat yang mengetahui jalannya komunikasi diplomatik tersebut, Minggu (15/6/2025), kepada Reuters.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pejabat itu berbicara dengan syarat anonim, mengingat tingginya sensitivitas isu ini.
Pernyataan itu menegaskan bahwa posisi Iran tak akan goyah selama tekanan militer terus berlangsung.
“Mereka tidak akan berunding saat masih diserang,” tambahnya.
Konflik memanas sejak Jumat pagi (13/6/2025), ketika Israel secara tiba-tiba meluncurkan serangan udara ke sejumlah fasilitas militer dan nuklir milik Iran.
Tel Aviv mengklaim operasi itu sebagai langkah pre-emptive dan memperingatkan bahwa intensitasnya akan terus meningkat dalam beberapa hari ke depan.
Iran merespons dengan nada yang tak kalah tajam. Pemerintah menyebut tindakan Israel sebagai provokasi terbuka yang bisa memicu konfrontasi paling besar sepanjang sejarah hubungan kedua negara.
Bahkan, dalam pernyataan resminya, Iran mengancam akan “membuka gerbang neraka” sebagai balasan.
Pernyataan ini sekaligus membantah laporan media internasional yang menyebut Iran meminta bantuan Qatar dan Oman untuk melibatkan Amerika Serikat dalam proses mediasi dan pembukaan kembali perundingan nuklir.
“Laporan itu tidak akurat,” tegas pejabat tersebut.
Sebagai catatan, Qatar dan Oman selama ini dikenal sebagai dua negara yang memainkan peran penting sebagai jembatan diplomatik antara Iran dan Barat.
Keduanya pernah memediasi pertukaran tahanan antara Iran dan AS pada 2023, serta sejumlah dialog terkait isu nuklir.
Namun, harapan terhadap jalur diplomatik itu kini kembali pudar setelah pecahnya eskalasi terbaru.
Ketika diplomasi berhenti di meja, konflik pun berpindah ke langit. Dunia pun menahan napas, menunggu babak berikutnya dari perang yang tak lagi bisa disebut sekadar ketegangan.***