Serang, Mevin.ID – Dengan mengenakan pakaian serba putih dan ikat kepala khas Badui Dalam, ratusan warga Suku Badui menempuh perjalanan sejauh 160 kilometer dengan berjalan kaki demi satu tujuan sakral: mengikuti Upacara Seba, tradisi tahunan yang menjadi ungkapan syukur atas hasil bumi sekaligus ajang silaturahmi dengan para pemimpin daerah.
Mereka tiba di Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, Minggu (4/5), dan langsung disambut Gubernur Banten Andra Soni. Sebelumnya, mereka juga telah bertemu Bupati Lebak Hasbi Asyidiki. Setelah pertemuan, rombongan Badui Dalam segera kembali ke kampung halaman mereka di pedalaman Lebak dengan cara yang sama—berjalan kaki.
“Kami merasa bahagia bisa menjalankan perintah leluhur. Meski hujan, terik, dan medan berat, kami tetap semangat demi tradisi,” kata Agus (45), warga Kampung Cibeo.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun ini, Seba diikuti oleh 100 perwakilan dari total 1.769 warga Badui Dalam yang berasal dari Kampung Cibeo, Cikawartana, dan Cikeusik. Tradisi Seba memang tak pernah sekadar seremoni: ini adalah bentuk penghormatan kepada “bapak gede”—sebutan warga Badui untuk kepala pemerintahan seperti bupati dan gubernur.
Perjalanan pulang-pergi mereka bisa mencapai 180 kilometer, melewati jalan raya, hutan belukar, hingga perbukitan. Bukan hal mudah, terutama karena adat Badui Dalam melarang penggunaan kendaraan dan teknologi modern, berbeda dengan saudara mereka dari Badui Luar.
“Kami makan dan minum secukupnya di jalan. Istirahat sebentar lalu lanjut lagi. Yang penting bisa sampai dan menyampaikan amanah,” ujar Ardi (50), salah satu peserta Seba.
Dari Kawalu Menuju Seba Gede
Seba digelar setelah masa Kawalu, yakni periode puasa dan kontemplasi selama tiga bulan yang dijalani warga Badui Dalam. Selama Kawalu, kampung adat mereka tertutup bagi wisatawan.
Setelah masa sakral itu selesai, tibalah saatnya untuk Seba Gede, versi besar dari perayaan Seba yang tahun ini diikuti total lebih dari 1.800 warga Badui, termasuk Badui Luar.
“Seba adalah bagian dari rukun adat kami. Kami membawa hasil bumi seperti pisang, talas, tepung laksa, gula aren, sayur ja’at, dan sayur iris, sebagai bentuk rasa syukur,” ujar Djaro Tanggungan 12, Saidi Putra, tokoh adat Badui.
Selain membawa hasil bumi, warga juga menyampaikan laporan kejadian setahun terakhir kepada pemerintah. Mereka juga menitipkan satu pesan utama: lindungi hutan.
Wilayah Badui berada di jantung kawasan hutan lindung seluas 52 ribu hektare—kawasan hulu yang menjadi penyangga ekosistem Banten. Warga Badui percaya, jika hutan rusak, bencana akan datang.
“Kami datang membawa pesan: jangan rusak hutan. Jika hutan selamat, manusia pun akan hidup damai,” pungkas Saidi.***