DI TENGAH dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, banyak dari kita ingin segalanya berjalan sesuai rencana. Kita ingin cuaca cerah saat bepergian, atasan yang selalu menghargai, pasangan yang peka, dan jalanan yang selalu lancar.
Namun, dunia tidak pernah tunduk pada keinginan kita. Di sinilah nasihat kuno dari filsuf Stoik, Epictetus, menjadi suluh dalam gelapnya frustrasi: “Jangan berusaha membuat segala sesuatu terjadi sebagaimana kamu menginginkannya, tetapi inginkan agar segala sesuatu terjadi sebagaimana adanya—dan hidupmu akan berjalan dengan baik.”
Ini bukan ajakan untuk pasrah, tapi undangan untuk memahami batas kendali kita. Bagi Epictetus, inti dari kebahagiaan bukan terletak pada mengendalikan dunia, tapi menguasai reaksi kita terhadapnya.
Antara Kendali dan Takdir
Epictetus membagi kehidupan menjadi dua ranah: hal-hal yang ada dalam kendali kita, dan hal-hal yang tidak. Sikap, keputusan, usaha—ini semua ada di tangan kita. Tapi cuaca, opini orang, hasil dari upaya, bahkan tubuh kita sendiri pada titik tertentu—semuanya di luar kendali penuh.
Ketika kita mencampuradukkan keduanya, kita membuka pintu bagi kecemasan, kemarahan, dan rasa putus asa. Tetapi saat kita mampu menerima kenyataan dengan lapang dada, dan fokus hanya pada yang bisa kita ubah, di sanalah kita menemukan kekuatan sejati.
Relevansi di Era Digital
Media sosial dan budaya pencapaian seringkali memicu dorongan untuk selalu mengatur segalanya: citra diri, respons orang lain, bahkan algoritma. Kita terseret dalam ilusi bahwa semua bisa dikontrol, sehingga ketika sesuatu berjalan tak sesuai rencana, kita merasa gagal.
Padahal, seperti kata Epictetus, kebebasan sejati datang ketika kita berhenti menggenggam hal-hal di luar kuasa kita. Saat kita berhenti memaksa dunia untuk mengikuti skenario kita, kita mulai melihat kehidupan dengan mata yang lebih jernih.
Menguatkan Jiwa, Bukan Melarikan Diri
Menyerah pada kenyataan bukan berarti pasif. Dalam Stoikisme, penerimaan (acceptance) justru adalah kekuatan aktif—semacam disiplin batin yang melatih kita untuk tetap tenang dalam badai, dan tetap bertindak bijak di tengah kekacauan.
Ketika kita menerima bahwa orang lain bisa bersikap tidak adil, lalu memilih tetap bertindak adil—di situlah karakter kita dibentuk. Ketika kita sadar bahwa jalan hidup tak selalu mulus, tapi kita tetap melangkah—di situlah jiwa kita mengeras menjadi baja.
Hidup sebagai Latihan, Bukan Pertunjukan
Bagi Epictetus, hidup bukan tentang tampil sempurna, tapi tentang berlatih terus-menerus menjadi pribadi yang kuat, sabar, dan jernih pikirannya. Dunia tak akan selalu memberi kita apa yang kita mau. Tapi kita bisa selalu memilih bagaimana meresponsnya.
Jadi, saat hidup tak berjalan sesuai harapan—gagal ujian, batal berangkat, ditolak seseorang, atau dibohongi teman—ingatlah satu hal: itu bukan akhir dunia.
Itu bagian dari latihan. Dan mungkin, itu jalan terbaik agar kita tak jadi budak keinginan, tapi tuan bagi jiwa kita sendiri.***
Penulis : Bar Bernad




















