Jejak Kolonial di Secangkir Kopi

- Redaksi

Senin, 20 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

AROMA kopi di pagi hari selalu membawa rasa damai. Namun di balik wangi itu, tersembunyi jejak panjang sejarah kolonialisme yang pahit.

Setiap tegukan kopi Nusantara sejatinya menyimpan kisah penindasan, perlawanan, dan ketangguhan bangsa yang pernah dipaksa menanam komoditas untuk kejayaan orang lain.

Ketika Biji dari Malabar Menyeberangi Samudra

Akhir abad ke-17. Dari pelabuhan kecil di Malabar, India, kapal dagang Belanda berlayar ke arah timur. Di dalam lambung kapal itu tersimpan sebuah muatan yang tampak tak berarti: beberapa benih kopi Arabika. Bukan rempah-rempah yang mahal, bukan emas, melainkan tanaman baru yang konon menjanjikan keuntungan besar.

Batavia menjadi tujuannya. Di tanah tropis itu, bibit kopi pertama kali ditanam di Kedawung. Gagal. Cuaca ekstrem dan kondisi tanah membuatnya tak bertahan lama. Tapi Belanda tak menyerah. Tiga tahun kemudian, mereka mendatangkan bibit baru dan menanamnya di dataran tinggi Jawa. Kali ini berhasil.

Tanah vulkanik, curah hujan tinggi, dan udara lembap membuat kopi tumbuh subur. Dari sinilah kisah “Java Coffee” dimulai—nama yang kelak melegenda di kafe-kafe Eropa, jauh dari tanah tempat biji itu pertama kali disemai.

Kopi dan Tanam Paksa: Wangi yang Beraroma Derita

Abad ke-19 menjadi masa paling kelam bagi para petani Nusantara. Di bawah sistem Cultuurstelsel atau tanam paksa, mereka diwajibkan menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, mereka dijanjikan pembebasan pajak—janji yang lebih sering berubah jadi utang dan kemiskinan.

Di desa-desa, kopi tak lagi sekadar tanaman, tapi alat kontrol. Para mandor kolonial berkeliling memastikan setiap jengkal tanah digunakan untuk kepentingan Belanda. Petani yang ketahuan menyimpan atau meminum kopi hasil tanamannya sendiri bisa dipenjara, bahkan disiksa.

Kopi yang harum di Amsterdam, di negeri asalnya justru menjadi simbol penderitaan. Di balik setiap karung kopi yang dikirim ke pelabuhan Eropa, tersembunyi keringat, air mata, dan lapar para petani Jawa, Sumatra, hingga Sulawesi.

Perlawanan di Antara Aroma

Namun rakyat tidak diam. Sejarah mencatat bentuk-bentuk perlawanan kecil namun berani. Ada petani yang diam-diam membuang hasil panen ke sungai agar tak diserahkan ke pemerintah kolonial. Ada yang menjual biji kopi secara sembunyi-sembunyi kepada pedagang gelap dengan harga lebih baik.

Dalam kesunyian, kopi menjadi bahasa perlawanan. Setiap biji yang disembunyikan, setiap seduhan yang dinikmati diam-diam di malam hari, adalah bentuk kecil dari pernyataan merdeka: hak atas rasa, hak atas hasil bumi sendiri.

Kopi Robusta: Dari Penyakit ke Ketangguhan

Ketika penyakit karat daun menyerang pada akhir 1800-an, kebun-kebun Arabika di Nusantara nyaris musnah. Kolonial Belanda lalu memperkenalkan jenis baru—Robusta, kopi yang lebih tahan penyakit dan tumbuh di dataran rendah.

Robusta mungkin tak sehalus Arabika, tapi ia tangguh, sebagaimana para petani yang menanamnya. Dari Jawa Timur hingga Lampung, kopi ini menjadi penyelamat industri sekaligus simbol daya hidup baru. Ia tumbuh di bawah tekanan, tapi tak pernah mati.

Kemerdekaan dan Rebutan Aroma Baru

Setelah Indonesia merdeka, perkebunan-perkebunan Belanda dinasionalisasi. Petani yang dulu bekerja di bawah cengkeraman kolonial kini menjadi pemilik kecil di tanahnya sendiri. Kopi pun menemukan wajah baru: bukan lagi simbol penindasan, melainkan lambang kebanggaan.

Namun jejak kolonial itu belum sepenuhnya hilang. Nama “Java Coffee” masih dipakai di luar negeri tanpa menyebut Indonesia. Struktur perdagangan kopi dunia masih didominasi negara-negara besar, sementara petani kecil tetap berjuang di tengah harga yang tak menentu.

Di warung kopi pinggir jalan, di mana cangkir seng dan gelas tebal menjadi saksi pagi, aroma itu masih sama. Tapi maknanya berubah. Kini, setiap tegukan kopi Nusantara bukan sekadar kenikmatan, melainkan penghormatan bagi para leluhur yang pernah menanam dalam keterpaksaan, dan kini kita menikmatinya dalam kemerdekaan.

Kopi sebagai Cermin Sejarah

Secangkir kopi adalah potret perjalanan bangsa. Dari benih yang datang dengan kapal kolonial, tumbuh di tanah jajahan, hingga kini menjadi kebanggaan nasional yang diekspor ke seluruh dunia.

Sejarah kolonialisme mungkin telah berakhir di atas kertas, tapi jejaknya masih tercium samar dalam setiap aroma kopi Indonesia. Sebuah pengingat bahwa kenikmatan hari ini lahir dari perjuangan panjang — dari tangan-tangan yang pernah dirantai, tapi tak pernah berhenti menanam harapan.***

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda: Oase Hijau, Saksi Bisu Sejarah, dan Paru-Paru Kota Bandung
Ini 15 Obat Herbal Ilegal Mengandung Bahan Kimia Berbahaya, BPOM: Bisa Rusak Ginjal!
Jalan Kaki: Ritual Sederhana untuk Menjaga Waras di Tengah Hidup yang Riuh
Jejak Kolonial, Secangkir Kisah dari Tanah Rempah: Perjalanan Kopi Nusantara
Bab Baru di Usia 50-an: Saat Hidup Tak Lagi Soal Membuktikan, Tapi Menemukan Makna
Tak Hanya Telur! 12 Makanan Ini Ternyata Sumber Protein Tinggi
Pemerintah Berencana Hapus Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan Peserta JKN
Tolpit: Ketika Sebuah Nama Nyeleneh Menyimpan Doa dan Kesuburan Tanah Jawa

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:16 WIB

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda: Oase Hijau, Saksi Bisu Sejarah, dan Paru-Paru Kota Bandung

Selasa, 4 November 2025 - 12:42 WIB

Ini 15 Obat Herbal Ilegal Mengandung Bahan Kimia Berbahaya, BPOM: Bisa Rusak Ginjal!

Senin, 20 Oktober 2025 - 14:20 WIB

Jejak Kolonial di Secangkir Kopi

Minggu, 19 Oktober 2025 - 11:35 WIB

Jalan Kaki: Ritual Sederhana untuk Menjaga Waras di Tengah Hidup yang Riuh

Selasa, 14 Oktober 2025 - 14:18 WIB

Jejak Kolonial, Secangkir Kisah dari Tanah Rempah: Perjalanan Kopi Nusantara

Berita Terbaru

Yusril Ihza Mahendra

Berita

Yusril: Putusan MK Jadi Titik Balik Reformasi Kepolisian

Kamis, 13 Nov 2025 - 19:30 WIB

Daerah

Ketika Kota Kembang Tersedak Bau Sampah

Kamis, 13 Nov 2025 - 17:22 WIB