Jakarta, Mevin.ID — Tubuh remaja perempuan berusia 14 tahun itu ditemukan tergeletak di lahan kosong, Kamis (2/10) pagi, di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Namanya RTA — seorang anak yang seharusnya masih duduk di bangku SMP. Namun, kenyataannya, ia bekerja sebagai terapis spa di Delta Spa, tempat orang dewasa datang untuk mencari relaksasi, bukan tempat yang seharusnya dihuni seorang anak.
Kasus ini kini mengguncang nurani publik. Polisi sedang menyelidiki penyebab kematian RTA sambil menunggu hasil autopsi. Namun di balik kematiannya, muncul pertanyaan yang jauh lebih gelap: bagaimana mungkin seorang anak berusia 14 tahun bisa bekerja di industri seperti itu?
Dugaan Perdagangan Anak Menguat
Komisioner KPAI Ai Maryati Sholihah menduga kuat adanya praktik perdagangan anak di balik kasus ini.
Ia mengungkap bahwa para pekerja di tempat serupa disebut mendapat pengawasan ketat, bahkan diintimidasi agar tidak keluar tanpa izin.
“Anak-anak ini tidak bisa bebas keluar masuk. Ada informasi tentang pengawasan bodyguard dan intimidasi,” ujar Ai Maryati.
Menurutnya, hal ini menandakan adanya eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak, yang melibatkan lebih dari sekadar individu, melainkan sistem yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Lebih dari Sekadar Kasus Kematian
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai polisi tidak boleh berhenti pada penyelidikan penyebab kematian semata.
Ia mendesak penyidik untuk menelusuri siapa yang merekrut, menampung, dan mempekerjakan RTA di tempat tersebut.
“Korban baru 14 tahun, tapi sudah dipekerjakan. Itu bukan sekadar pelanggaran ketenagakerjaan — tapi masuk ranah pidana, tindak perdagangan anak,” tegasnya.
Azmi juga mendorong agar penyelidikan ini membongkar “ekosistem gelap” yang memungkinkan anak-anak bekerja di sektor jasa yang rentan terhadap eksploitasi.
Jejak Faktor Ekonomi
Kriminolog Reza Indragiri menambahkan, dua faktor bisa menjadi alasan RTA bekerja sebagai terapis: eksplorasi diri dan tekanan ekonomi.
Namun yang terakhir, katanya, lebih sering terjadi.
“Faktor ekonomi sering kali membuat anak-anak seperti RTA kehilangan perlindungan dasar mereka,” ujarnya.
Reza menegaskan, jika ada peran keluarga dalam penempatan anak tersebut, mereka juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Usut dengan pasal berlapis — penghilangan nyawa dan TPPO. Karena di dalam TPPO ada eksploitasi dan perbudakan. Itu sudah sangat jelas,” tambahnya.
Lebih dari Sekadar Tragedi
Kematian RTA bukan hanya kehilangan seorang anak. Ia menjadi cermin kelalaian sistemik — tentang bagaimana kemiskinan, lemahnya pengawasan, dan bisnis gelap bisa bersekongkol menelan masa depan seorang anak perempuan.
Kini, publik menunggu langkah tegas kepolisian: apakah kasus ini akan berhenti di meja autopsi, atau berkembang menjadi pengungkapan jaringan perdagangan anak yang bersembunyi di balik papan nama “spa”.***




















