Jika Sekolah Benar-Benar Masuk Jam 6: Kisah Anak-Anak di Ujung Jalan yang Terlupakan

- Redaksi

Selasa, 17 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi Anak Sekolah

Ilustrasi Anak Sekolah

BAYANGKAN pagi di sebuah desa di selatan Tasikmalaya. Gelap masih menggantung. Embun belum surut. Jalanan tanah becek, kadang terendam sisa hujan semalam.

Di tengah sunyi itu, lampu senter kecil bergerak perlahan. Itu bukan orang dewasa berangkat kerja. Itu Rizky, 12 tahun, berjalan seorang diri, menyusuri hutan kecil, menuju sekolah yang berjarak lebih dari 5 kilometer dari rumahnya.

Di pundaknya ada tas sekolah. Di kakinya hanya sandal jepit. Dan di jam tangannya, waktu baru menunjukkan 04.15 pagi.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah gambaran yang bisa terjadi jika kebijakan masuk sekolah pukul 6 atau 6.30 pagi benar-benar diterapkan secara merata di seluruh Jawa Barat.

Pagi yang Terlalu Cepat, Jalan yang Terlalu Berat

Di kota, mungkin anak-anak bisa dibangunkan pukul 5, mandi air hangat, sarapan sereal, dan naik mobil ke sekolah. Tapi di desa-desa seperti Cidaun, Pameungpeuk, atau Cibugel—ceritanya berbeda.

Untuk anak-anak seperti Nina, pelajar kelas 7 di Majalengka, sekolah yang harus ditempuh bukan hanya jauh, tapi juga melewati jalan rusak, semak-semak, dan sungai kecil. Jika jam masuk benar-benar diubah jadi pukul 6, ia harus bangun sebelum ayam berkokok, sekitar pukul 3 pagi.

Ibunya yang bekerja sebagai buruh tani hanya menggeleng ketika mendengar rencana itu.

“Sarapan belum sempat. Listrik sering mati. Gelap. Kalau begini, nanti malah anak saya lebih sering sakit,” katanya.

Belajar Dalam Kantuk, Bertaruh dalam Risiko

Pakar kesehatan anak menyebut waktu ideal masuk sekolah adalah pukul 7.30 hingga 8.00, terutama bagi remaja. Pasalnya, tubuh dan otak belum bekerja optimal terlalu pagi. Bangun sebelum jam 4 pagi demi tiba di sekolah jam 6 justru akan membuat anak-anak datang dengan kondisi lelah dan mengantuk.

Efeknya bukan hanya nilai pelajaran yang turun. Tapi juga meningkatnya risiko kecelakaan di jalan, rawan kejahatan, dan penurunan imunitas tubuh.

Apakah ini bentuk disiplin? Atau justru ketidakpedulian terhadap realitas sosial di luar kota?

Dari Kantor ke Kampung: Jarak Pemahaman yang Menganga

Kebijakan ini, sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, punya niat baik: membentuk karakter anak sejak dini, menumbuhkan kebiasaan bangun pagi, dan meniru disiplin ala Jepang atau Korea.

Tapi pertanyaannya: Apakah mereka yang membuat kebijakan ini pernah sekali saja berjalan bersama anak-anak desa menuju sekolahnya?

Pendidikan bukan sekadar soal waktu masuk. Pendidikan adalah tentang akses dan keadilan.

Pendidikan yang Tidak Melupakan Pinggiran

Jika benar kebijakan ini diterapkan secara merata, maka kita sedang menciptakan jurang baru. Anak-anak kota akan diuntungkan karena fasilitas dan transportasi mereka lengkap.

Sementara anak-anak di pinggiran—yang selama ini justru haus akan pendidikan—malah akan tumbang oleh sistem yang tak memihak.

Anak-anak di pelosok sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Mereka bangun lebih pagi bukan karena disiplin, tapi karena keadaan memaksa.

Sekolah adalah satu-satunya jalan mereka bermimpi lebih tinggi. Jangan biarkan jam masuk yang terlalu pagi justru menjadi alasan mereka berhenti sekolah.

***

Kita belum terlambat untuk berpikir ulang. Sebelum jam 6 benar-benar menjadi angka sakral dalam dunia pendidikan, mari pastikan dulu jalan ke sekolahnya aman, transportasinya terjamin, dan anak-anak cukup tidur dan makan.

Karena pendidikan seharusnya bukan tentang siapa yang lebih pagi, tapi siapa yang lebih peduli.***

DR. Deden Sukirman, MM, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bandung

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bulog Berbasis Koperasi Petani Padi: Jalan Baru Kedaulatan Pangan Indonesia
Negara yang Sibuk Membangun, Tapi Lupa Jalan Pulang
Dialog Batin — Episode 3: Ketika Ibadah Terasa Kosong
Seneca: “Pikiran yang Gelisah akan Masa Depan Adalah Pikiran yang Sengsara”
Sendiri, Tapi Tidak Sepi: Meresapi Kesendirian Lewat Kacamata Stoik
Matahari Juga Bersinar untuk Orang Jahat: Pelajaran Tenang dari Seneca
Seneca dan Seni Menghadapi Cobaan: Keteguhan dalam Pandangan Stoik
Dialog Batin — Episode 2: Tuhan yang Jauh Padahal Dekat

Berita Terkait

Rabu, 16 Juli 2025 - 09:15 WIB

Bulog Berbasis Koperasi Petani Padi: Jalan Baru Kedaulatan Pangan Indonesia

Senin, 14 Juli 2025 - 08:51 WIB

Negara yang Sibuk Membangun, Tapi Lupa Jalan Pulang

Jumat, 11 Juli 2025 - 12:07 WIB

Dialog Batin — Episode 3: Ketika Ibadah Terasa Kosong

Kamis, 10 Juli 2025 - 22:29 WIB

Seneca: “Pikiran yang Gelisah akan Masa Depan Adalah Pikiran yang Sengsara”

Minggu, 6 Juli 2025 - 21:15 WIB

Sendiri, Tapi Tidak Sepi: Meresapi Kesendirian Lewat Kacamata Stoik

Berita Terbaru