BAYANGKAN pagi di sebuah desa di selatan Tasikmalaya. Gelap masih menggantung. Embun belum surut. Jalanan tanah becek, kadang terendam sisa hujan semalam.
Di tengah sunyi itu, lampu senter kecil bergerak perlahan. Itu bukan orang dewasa berangkat kerja. Itu Rizky, 12 tahun, berjalan seorang diri, menyusuri hutan kecil, menuju sekolah yang berjarak lebih dari 5 kilometer dari rumahnya.
Di pundaknya ada tas sekolah. Di kakinya hanya sandal jepit. Dan di jam tangannya, waktu baru menunjukkan 04.15 pagi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah gambaran yang bisa terjadi jika kebijakan masuk sekolah pukul 6 atau 6.30 pagi benar-benar diterapkan secara merata di seluruh Jawa Barat.
Pagi yang Terlalu Cepat, Jalan yang Terlalu Berat
Di kota, mungkin anak-anak bisa dibangunkan pukul 5, mandi air hangat, sarapan sereal, dan naik mobil ke sekolah. Tapi di desa-desa seperti Cidaun, Pameungpeuk, atau Cibugel—ceritanya berbeda.
Untuk anak-anak seperti Nina, pelajar kelas 7 di Majalengka, sekolah yang harus ditempuh bukan hanya jauh, tapi juga melewati jalan rusak, semak-semak, dan sungai kecil. Jika jam masuk benar-benar diubah jadi pukul 6, ia harus bangun sebelum ayam berkokok, sekitar pukul 3 pagi.
Ibunya yang bekerja sebagai buruh tani hanya menggeleng ketika mendengar rencana itu.
“Sarapan belum sempat. Listrik sering mati. Gelap. Kalau begini, nanti malah anak saya lebih sering sakit,” katanya.
Belajar Dalam Kantuk, Bertaruh dalam Risiko
Pakar kesehatan anak menyebut waktu ideal masuk sekolah adalah pukul 7.30 hingga 8.00, terutama bagi remaja. Pasalnya, tubuh dan otak belum bekerja optimal terlalu pagi. Bangun sebelum jam 4 pagi demi tiba di sekolah jam 6 justru akan membuat anak-anak datang dengan kondisi lelah dan mengantuk.
Efeknya bukan hanya nilai pelajaran yang turun. Tapi juga meningkatnya risiko kecelakaan di jalan, rawan kejahatan, dan penurunan imunitas tubuh.
Apakah ini bentuk disiplin? Atau justru ketidakpedulian terhadap realitas sosial di luar kota?
Dari Kantor ke Kampung: Jarak Pemahaman yang Menganga
Kebijakan ini, sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, punya niat baik: membentuk karakter anak sejak dini, menumbuhkan kebiasaan bangun pagi, dan meniru disiplin ala Jepang atau Korea.
Tapi pertanyaannya: Apakah mereka yang membuat kebijakan ini pernah sekali saja berjalan bersama anak-anak desa menuju sekolahnya?
Pendidikan bukan sekadar soal waktu masuk. Pendidikan adalah tentang akses dan keadilan.
Pendidikan yang Tidak Melupakan Pinggiran
Jika benar kebijakan ini diterapkan secara merata, maka kita sedang menciptakan jurang baru. Anak-anak kota akan diuntungkan karena fasilitas dan transportasi mereka lengkap.
Sementara anak-anak di pinggiran—yang selama ini justru haus akan pendidikan—malah akan tumbang oleh sistem yang tak memihak.
Anak-anak di pelosok sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Mereka bangun lebih pagi bukan karena disiplin, tapi karena keadaan memaksa.
Sekolah adalah satu-satunya jalan mereka bermimpi lebih tinggi. Jangan biarkan jam masuk yang terlalu pagi justru menjadi alasan mereka berhenti sekolah.
***
Kita belum terlambat untuk berpikir ulang. Sebelum jam 6 benar-benar menjadi angka sakral dalam dunia pendidikan, mari pastikan dulu jalan ke sekolahnya aman, transportasinya terjamin, dan anak-anak cukup tidur dan makan.
Karena pendidikan seharusnya bukan tentang siapa yang lebih pagi, tapi siapa yang lebih peduli.***
DR. Deden Sukirman, MM, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bandung