PERNYATAAN Rahayu Saraswati—keponakan Presiden Prabowo sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR RI—baru-baru ini menyulut reaksi beragam. Dalam sebuah forum di Jakarta, ia menyatakan:
“Kalau anak muda masih berharap lowongan kerja dari pemerintah, Indonesia masih era kolonial.”
Menurutnya, anak muda Indonesia mestinya menciptakan peluang sendiri melalui wirausaha, industri kreatif, bahkan investasi digital. Tidak bergantung pada negara.
Tentu ini sah-sah saja. Tapi, publik—terutama di jagat maya—tidak tinggal diam.
Netizen Balik Bertanya:
“Kalau rakyat disuruh usaha sendiri, cari kerja sendiri, modal sendiri, gagal sendiri, bangkit sendiri… tapi negara masih berharap pajak? Bukankah itu juga kolonial?”
Dan pertanyaan itu masuk akal. Karena jika negara tidak menyediakan pekerjaan, tidak menjamin upah layak, tidak menyubsidi modal usaha, tapi tetap memungut pajak dari hasil kerja keras rakyat… lantas, kontribusi negara ada di mana?
Antara Kemandirian dan Kewajiban Negara
Mari kita luruskan. Mendorong anak muda untuk jadi kreatif dan berwirausaha itu bagus. Bahkan sangat diperlukan di era disrupsi ekonomi digital. Tapi, jangan sampai narasinya menormalisasi lepas tanggung jawab negara dalam menyediakan lapangan kerja.
Apalagi di negara berkembang, di mana angkatan kerja tumbuh lebih cepat daripada ketersediaan kerja formal. Data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 60% angkatan kerja muda bekerja di sektor informal, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian pendapatan.
Apakah semua bisa langsung berwirausaha? Apakah semua punya akses modal dan literasi digital yang cukup?
Pajak dan Tanggung Jawab
Jika negara ingin rakyat “tidak bergantung”, maka rakyat juga bisa bertanya: kenapa negara masih bergantung pada pajak rakyat?
Rakyat mandiri = boleh. Tapi negara juga harus fair = fasilitasi.
Apakah adil jika pemerintah tidak hadir saat rakyat butuh pekerjaan, tapi selalu hadir saat rakyat sudah menghasilkan?
***
Mendorong kemandirian tanpa menguatkan peran negara = retorika neoliberal klasik: rakyat disuruh mandiri, tapi negara tetap menagih. Ujung-ujungnya, tanggung jawab sosial negara disulap jadi wacana motivasional.
Kalau begitu, jangan-jangan kolonialismenya masih ada—hanya saja pelakunya kini bukan bangsa asing, tapi retorika internal yang menormalkan ketimpangan.
Anak muda boleh dimotivasi, tapi jangan dijadikan kambing hitam atas kegagalan negara menciptakan sistem yang adil.***





















