Bekasi, Mevin.iD – Sungai Wanasari yang mengalir di belakang Masjid Al-Ikhlas, Kecamatan Cibitung, mendadak viral. Bukan karena keindahan alirannya, tapi karena tumpukan sampah yang memenuhi permukaan air, memicu keresahan warga.
Video yang diunggah seorang warga memperlihatkan kondisi memilukan sungai tersebut dan langsung mencuri perhatian warganet. Dalam unggahannya, warga menandai langsung Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, meminta turun tangan.
“Kami butuh bantuan. Sungai ini makin parah tiap hari. Kalau dibiarkan, penyakit akan datang,” tulis pengunggah dalam narasi videonya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di balik viralnya video tersebut, ada pesan yang lebih dalam: kegagalan sistemik dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi.
Lihat postingan ini di Instagram
Menurut Aep Bin Anung, Ketua Forum Warga Desa Burangkeng Peduli Lingkungan (For-WADES), persoalan ini tak bisa terus-menerus dibebankan kepada pemerintah daerah saja.
“Urusan sampah ini tanggung jawab kita semua—warga, pemerintah, industri. Jangan cuci tangan,” tegas Aep saat dihubungi, Kamis (15/5/2025).
Aep menilai, Undang-Undang Pengelolaan Sampah dan UU Lingkungan Hidup sudah cukup kuat secara hukum. Tapi masalahnya ada di hilir: implementasi. Tanpa perubahan budaya dan keterlibatan aktif seluruh lapisan masyarakat, regulasi hanya tinggal pasal-pasal kosong.
Ia menekankan pentingnya menumbuhkan budaya peduli lingkungan mulai dari level paling dasar—RT, RW, hingga Camat dan jajaran birokrasi Pemkab Bekasi. Tak hanya itu, peran pemuda, karang taruna, ormas, dan LSM juga dinilai krusial dalam membangun kesadaran kolektif.
Mentalitas Sampah = Mentalitas Krisis
Aep juga menyinggung wakil rakyat di DPRD Kabupaten Bekasi agar tak semata-mata mengandalkan solusi tambal sulam seperti perluasan TPA.
“Kalau cuma mikir beli lahan TPA terus, itu namanya malas berpikir. Sampah bisa dikurangi dari sumbernya. Tapi kalau mental masyarakat dan pejabatnya tak berubah, percuma,” katanya.
Ia bahkan menyoroti bagaimana sikap sinis terhadap investor pengolahan sampah justru menghambat solusi jangka panjang.
“Baru datang mau investasi, sudah ditanya: ‘kami dapat apa?’ Kalau begini terus, ya kita akan dikubur oleh sampah kita sendiri,” sindirnya tajam.
Bagi Aep, sampah adalah masalah yang melekat pada hidup manusia. “Dari lahir kita sudah menghasilkan sampah, dari darah kotor saat dilahirkan, sampai meninggal pun masih menyumbang air bekas memandikan jenazah. Jadi ini urusan fundamental,” ujarnya.
Masalah Kali Wanasari adalah cermin dari krisis yang lebih besar: minimnya kesadaran, buruknya pengelolaan, dan hilangnya rasa tanggung jawab bersama. Jika tak segera ditangani, bukan tak mungkin sungai-sungai lain akan menyusul.***
Penulis : Fathur Rachman
Editor : Pratigto