“Kami Ikat Pinggang, Mereka Ikat Dasi”: Saat Rakyat Bertahan, Harta Koruptor Dibiarkan Aman

- Redaksi

Senin, 5 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

RUU Perampasan Aset,  AntaraFoto

RUU Perampasan Aset, AntaraFoto

DI SEBUAH rumah kontrakan sempit di pinggiran Bekasi, Tuti (42) menanak nasi dengan sisa gas yang tinggal separuh. Suaminya baru saja dirumahkan dari pabrik sepatu. Uang simpanan hampir habis, dan anaknya yang SMA mulai khawatir tak bisa bayar SPP bulan depan.

“Katanya ekonomi kita tumbuh. Tapi kenapa hidup kami makin sempit?” keluh Tuti, sambil menunjukkan tagihan listrik yang menumpuk.

Ia tahu benar pemerintah sedang mengetatkan anggaran. Bantuan sosial dipangkas, subsidi dibatasi. Semuanya atas nama efisiensi.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di sisi lain kota, di sebuah kompleks mewah di Jakarta Selatan, seorang mantan pejabat yang pernah dihukum dalam kasus korupsi besar dilaporkan masih menikmati vila, mobil mewah, dan rekening yang tak tersentuh negara.

Ia bebas setelah menjalani hukuman ringan — dan hartanya tetap utuh.

Inilah jurang keadilan yang semakin dalam: rakyat dipaksa berhemat, sementara para pencuri uang negara tak pernah sungguh-sungguh diadili secara aset.

Keadilan Tanpa Aset, Adilkah?

RUU Perampasan Aset yang sudah bertahun-tahun mandek di DPR menjadi harapan baru. Jika disahkan, negara bisa menyita kekayaan hasil korupsi tanpa perlu menunggu vonis pidana — cukup dengan pembuktian perdata bahwa aset itu berasal dari kejahatan.

Artinya, meskipun koruptor lari ke luar negeri, pura-pura sakit, atau bahkan meninggal dunia, kekayaan mereka tetap bisa diambil dan dikembalikan ke kas negara.

Uang yang selama ini mengendap di rumah-rumah mewah bisa digunakan untuk sekolah anak-anak seperti anak Tuti, memperbaiki jalan desa, atau menambal defisit rumah sakit.

Tapi hingga hari ini, undang-undang itu belum juga lahir. Yang lahir justru kemarahan, ketidakpercayaan, dan perasaan ditinggalkan oleh sistem hukum yang lemah terhadap yang kuat, namun kuat terhadap yang lemah.

“Kami Disuruh Sabar, Mereka Diberi Ampunan”

Kondisi ekonomi Indonesia memang tumbuh, tapi tidak semua merasakannya. Kuartal I 2025 menunjukkan pelambatan konsumsi rumah tangga — sinyal bahwa daya beli rakyat menurun. Sementara itu, pemerintah sibuk merapikan neraca, memangkas subsidi, menunda proyek, dan bicara soal efisiensi.

Namun publik bertanya: mengapa efisiensi selalu dimulai dari rakyat, bukan dari para perampok uang negara?

RUU Perampasan Aset bukan cuma soal aturan hukum. Ini soal moral publik. Soal membuktikan bahwa negara benar-benar berpihak pada mereka yang hidup dengan jujur, bukan pada mereka yang menyembunyikan kekayaan haram.

Hukum Tanpa Keberanian adalah Hiburan

Presiden Prabowo telah menyatakan dukungan terbuka untuk mempercepat pengesahan RUU ini. “Sudah nyolong, enggak mau kembalikan aset? Saya tarik saja itu,” katanya lantang saat Hari Buruh.

Pernyataan yang disambut sorak-sorai buruh — tapi mereka ingin lebih dari sekadar pidato.

“Tarik, Pak. Jangan cuma bicara. Kami sudah terlalu sering lihat pencuri kelas kakap bebas, sementara tukang cilok ditilang karena jualan di trotoar,” ujar Randi (28), pengemudi ojek daring di Tanah Abang.

Aset Mereka, Nafas Kita

RUU Perampasan Aset bisa menjadi titik balik. Di tengah ancaman krisis dan keterbatasan fiskal, membiarkan kekayaan hasil korupsi tetap aman sama saja dengan menertawakan penderitaan rakyat.

Sebab di mata mereka yang hidup dari nasi bungkus dan cicilan harian, keadilan bukan soal pasal demi pasal — tapi soal rasa: apakah negara masih berpihak pada yang lemah?

Dan selama aset para koruptor masih bersinar di balik pagar tinggi, jawabannya tetap menggantung.***

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Seneca: Amarah Tak Terkendali Lebih Menyakiti Diri Kita daripada Luka yang Menyebabkannya
Sikap Tegas Bupati dan Kejari Bekasi Ditunggu Warga Dalam Polemik Fasos-Fasum yang Dikelola Secara Ilegal
Zeno dari Citium: Di Era Ramai Bicara, Bijaklah untuk Lebih Banyak Mendengarkan
Gubernur Dedi Mulyadi Diidolakan, Tapi Mampukah Ia Ubah Jawa Barat?
Sampah, Sanksi, dan Sadar Diri: Saatnya Pengelola Kawasan Tidak Lagi Berlindung di Balik Pemda
Menanti Kehadiran Peran Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional
Jangan Paksa Dunia Mengikuti Kehendakmu – Inilah Nasihat Epictetus yang Menguatkan Jiwa
Bom Waktu Ketimpangan: Mengapa Rakyat Tetap Miskin Meski Negara Kaya

Berita Terkait

Sabtu, 17 Mei 2025 - 23:04 WIB

Seneca: Amarah Tak Terkendali Lebih Menyakiti Diri Kita daripada Luka yang Menyebabkannya

Sabtu, 17 Mei 2025 - 22:19 WIB

Sikap Tegas Bupati dan Kejari Bekasi Ditunggu Warga Dalam Polemik Fasos-Fasum yang Dikelola Secara Ilegal

Jumat, 16 Mei 2025 - 22:56 WIB

Zeno dari Citium: Di Era Ramai Bicara, Bijaklah untuk Lebih Banyak Mendengarkan

Kamis, 15 Mei 2025 - 22:30 WIB

Gubernur Dedi Mulyadi Diidolakan, Tapi Mampukah Ia Ubah Jawa Barat?

Rabu, 14 Mei 2025 - 09:31 WIB

Sampah, Sanksi, dan Sadar Diri: Saatnya Pengelola Kawasan Tidak Lagi Berlindung di Balik Pemda

Berita Terbaru