DI SEBUAH rumah kontrakan sempit di pinggiran Bekasi, Tuti (42) menanak nasi dengan sisa gas yang tinggal separuh. Suaminya baru saja dirumahkan dari pabrik sepatu. Uang simpanan hampir habis, dan anaknya yang SMA mulai khawatir tak bisa bayar SPP bulan depan.
“Katanya ekonomi kita tumbuh. Tapi kenapa hidup kami makin sempit?” keluh Tuti, sambil menunjukkan tagihan listrik yang menumpuk.
Ia tahu benar pemerintah sedang mengetatkan anggaran. Bantuan sosial dipangkas, subsidi dibatasi. Semuanya atas nama efisiensi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain kota, di sebuah kompleks mewah di Jakarta Selatan, seorang mantan pejabat yang pernah dihukum dalam kasus korupsi besar dilaporkan masih menikmati vila, mobil mewah, dan rekening yang tak tersentuh negara.
Ia bebas setelah menjalani hukuman ringan — dan hartanya tetap utuh.
Inilah jurang keadilan yang semakin dalam: rakyat dipaksa berhemat, sementara para pencuri uang negara tak pernah sungguh-sungguh diadili secara aset.
Keadilan Tanpa Aset, Adilkah?
RUU Perampasan Aset yang sudah bertahun-tahun mandek di DPR menjadi harapan baru. Jika disahkan, negara bisa menyita kekayaan hasil korupsi tanpa perlu menunggu vonis pidana — cukup dengan pembuktian perdata bahwa aset itu berasal dari kejahatan.
Artinya, meskipun koruptor lari ke luar negeri, pura-pura sakit, atau bahkan meninggal dunia, kekayaan mereka tetap bisa diambil dan dikembalikan ke kas negara.
Uang yang selama ini mengendap di rumah-rumah mewah bisa digunakan untuk sekolah anak-anak seperti anak Tuti, memperbaiki jalan desa, atau menambal defisit rumah sakit.
Tapi hingga hari ini, undang-undang itu belum juga lahir. Yang lahir justru kemarahan, ketidakpercayaan, dan perasaan ditinggalkan oleh sistem hukum yang lemah terhadap yang kuat, namun kuat terhadap yang lemah.
“Kami Disuruh Sabar, Mereka Diberi Ampunan”
Kondisi ekonomi Indonesia memang tumbuh, tapi tidak semua merasakannya. Kuartal I 2025 menunjukkan pelambatan konsumsi rumah tangga — sinyal bahwa daya beli rakyat menurun. Sementara itu, pemerintah sibuk merapikan neraca, memangkas subsidi, menunda proyek, dan bicara soal efisiensi.
Namun publik bertanya: mengapa efisiensi selalu dimulai dari rakyat, bukan dari para perampok uang negara?
RUU Perampasan Aset bukan cuma soal aturan hukum. Ini soal moral publik. Soal membuktikan bahwa negara benar-benar berpihak pada mereka yang hidup dengan jujur, bukan pada mereka yang menyembunyikan kekayaan haram.
Hukum Tanpa Keberanian adalah Hiburan
Presiden Prabowo telah menyatakan dukungan terbuka untuk mempercepat pengesahan RUU ini. “Sudah nyolong, enggak mau kembalikan aset? Saya tarik saja itu,” katanya lantang saat Hari Buruh.
Pernyataan yang disambut sorak-sorai buruh — tapi mereka ingin lebih dari sekadar pidato.
“Tarik, Pak. Jangan cuma bicara. Kami sudah terlalu sering lihat pencuri kelas kakap bebas, sementara tukang cilok ditilang karena jualan di trotoar,” ujar Randi (28), pengemudi ojek daring di Tanah Abang.
Aset Mereka, Nafas Kita
RUU Perampasan Aset bisa menjadi titik balik. Di tengah ancaman krisis dan keterbatasan fiskal, membiarkan kekayaan hasil korupsi tetap aman sama saja dengan menertawakan penderitaan rakyat.
Sebab di mata mereka yang hidup dari nasi bungkus dan cicilan harian, keadilan bukan soal pasal demi pasal — tapi soal rasa: apakah negara masih berpihak pada yang lemah?
Dan selama aset para koruptor masih bersinar di balik pagar tinggi, jawabannya tetap menggantung.***