SETIAP tanggal 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Anak-anak perempuan mengenakan kebaya, potongan puisi dibacakan, dan kutipan “Habis Gelap Terbitlah Terang” kembali berseliweran di media sosial.
Namun di balik seremoni itu, kita jarang menengok wajah-wajah Kartini yang lain—mereka yang terperangkap dalam dunia gelap bernama eksploitasi dan kekerasan, di mana terang tak kunjung datang.
Salah satu dunia itu adalah sirkus dan taman hiburan, tempat hiburan rakyat yang dalam praktiknya menyimpan sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
Sejak tahun 1990-an, Oriental Circus Indonesia (OCI) telah diduga mengeksploitasi puluhan hingga ratusan anak dan remaja, banyak di antaranya adalah perempuan.
Mereka dijanjikan masa depan, pendidikan, dan kehidupan lebih baik. Nyatanya, mereka justru dibentuk untuk tunduk: dipaksa tampil setiap hari, dipukul saat salah, dipaksa diam saat dilecehkan. Beberapa bahkan kehilangan identitasnya sendiri karena dokumen mereka ditahan.
Mereka adalah Kartini—namun tidak pernah diberi ruang untuk menulis surat, apalagi menyuarakan haknya.
Laporan dan kesaksian yang muncul belakangan dari mantan pemain sirkus juga menunjukkan adanya praktik serupa di lingkungan Taman Safari Indonesia (TSI).
Di balik pertunjukan yang memukau, banyak perempuan muda dipaksa tinggal dalam kondisi tidak manusiawi, bekerja di bawah tekanan fisik dan mental, bahkan menerima kekerasan yang membekas bertahun-tahun.
Hari ini, ketika kita merayakan Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan, kita harus berani bertanya: Mengapa negara membiarkan sirkus dan taman hiburan menjadi ruang kebisuan bagi para perempuan korban? Mengapa tak ada pelaku yang dijerat? Mengapa eksploitasi ini masih berlindung di balik label “hiburan keluarga”?
Kartini pernah menulis bahwa peradaban yang mulia hanya bisa lahir dari perempuan yang merdeka.
Tapi bagaimana mungkin kemerdekaan itu tercapai bila kekerasan terhadap perempuan masih dipelihara secara sistemik, dan korban tidak mendapat ruang untuk bersuara?
Hari ini, mari kita rayakan Kartini bukan hanya dengan bunga dan kebaya. Tapi dengan keberanian untuk menyuarakan mereka yang selama ini dibungkam.
Karena perjuangan Kartini tidak selesai di meja sekolah, tapi harus terus hidup di medan-medan perlawanan, termasuk tenda sirkus dan panggung hiburan.***
Penulis : Bar Bernad




















