Bandung, Mevin.ID — Kayu gaharu kembali menjadi sorotan setelah sebuah riwayat menyebut bahwa kayu ini termasuk benda yang kelak digunakan para penghuni surga.
Dalam tradisi Islam, gaharu disebut bersama sejumlah benda lain yang diyakini memiliki asal atau keterkaitan dengan surga, seperti Hajar Aswad, tongkat Nabi Musa, buah tin, dan cincin Nabi Sulaiman.
Riwayat yang dikutip Imam Bukhari menyebutkan bahwa wangi gaharu akan menjadi bagian dari suasana penghuni surga. Dalam riwayat itu, digambarkan penghuni surga akan datang dengan rupa secerah bulan purnama, dengan aroma gaharu sebagai pengharumnya.
Meski terdengar jauh dan metafisik, kayu gaharu bukan sesuatu yang asing bagi Indonesia. Tanaman ini tumbuh di kawasan tropis dan telah menjadi bagian dari sejarah perdagangan Nusantara ribuan tahun lampau.
Tanaman Langka dari Proses “Sakit”
Gaharu sebenarnya bukan kayu biasa. Aromanya muncul dari proses alami ketika pohon Aquilaria mengalami infeksi jamur atau luka. Reaksi biologis itu menghasilkan resin beraroma khas, yang kemudian bernilai tinggi. Hanya sekitar 7–10% pohon yang mengalaminya secara alami, menjadikannya langka.
Kondisi langka inilah yang membuat harga gaharu bisa mencapai kisaran US$20.000 hingga US$100.000 per kilogram, atau sekitar Rp324 juta hingga Rp1,6 miliar. Permintaan terbesar berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan negara dengan tradisi pembakaran dupa dalam ibadah.
Jejak Perdagangan dari Sumatera ke Dunia
Catatan sejarah menunjukkan gaharu dari Sumatera telah diperdagangkan sejak masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-11. Kayu ini menjadi bagian dari komoditas ekspor alongside kapur barus, cendana, dan rempah-rempah.
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan bahwa gaharu termasuk barang berharga yang dibawa pedagang Arab, Mesir, dan India. Bahkan, dalam catatan eksplorasi Tome Pires (1515), pedagang dari Gujarat datang setiap tahun ke Pariaman hanya untuk mendapatkan gaharu.
Selain Sumatera Selatan, jejak gaharu juga ditemukan di Sumatera Barat dan wilayah hutan tropis lain di Nusantara. Sebagian masyarakat lokal menyebutnya sebagai kayu yang “menyimpan wangi di dalam luka”.
Aroma Ibadah dan Identitas Nusantara
Di banyak tradisi Islam, terutama di Timur Tengah, gaharu dibakar sebagai dupa dalam kegiatan keagamaan dan penyambutan tamu terhormat. Wangi kayu ini dianggap menenangkan, menghadirkan kekhusyukan, dan menandai momen-momen yang sakral.
Kini, di Indonesia, gaharu tetap diperdagangkan, meski sebagian besar berasal dari budidaya yang mencoba meniru proses alami infeksi pada pohon. Namun tetap, nilai budaya dan spiritual kayu ini tidak berhenti hanya sebagai komoditas ekonomi.
Lebih dari Sekadar Kisah Religi
Di antara pohon-pohon di hutan Nusantara, gaharu menjadi semacam jembatan: antara bumi dan langit, antara sejarah perdagangan maritim dengan tradisi ibadah, antara ekonomi dan makna simbolik.
Jika sebagian tradisi menyebutnya pernah “turun dari surga”, maka jejaknya di kepulauan ini mengingatkan bahwa banyak hal sakral dalam hidup hadir melalui alam, tumbuh diam-diam, dan menunggu ditemukan lewat perhatian yang sabar.
Seperti halnya wangi gaharu yang keluar saat pohon terluka, kadang nilai terdalam dalam hidup justru muncul dari sesuatu yang pernah sakit — lalu disembuhkan.***





















