Prolog: Dua Krisis, Satu Jawaban
Pada 1945, Jepang hancur. Kota-kotanya rata oleh bom, perut rakyatnya kelaparan. Tapi di tengah puing, Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Sekutu di Asia, mendorong lahirnya Japan Agricultural Cooperatives (JA)—sebuah koperasi yang tak hanya menghidupkan sawah, tapi juga memulihkan harga diri bangsa.
Delapan puluh tahun kemudian, Indonesia di ambang krisis berbeda: perekonomian yang terperangkap antara deindustrialisasi, ketergantungan impor, defisit transaksi berjalan, guremisasi ketenagakerjaan dan guremisasi pertanian menandakan telah berlangsung proses detransformasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Presiden Prabowo menjawabnya dengan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Kritikus menuding ini nostalgia KUD Orde Baru yang gagal. Tapi sejarah JA mengajarkan: koperasi bisa jadi jawaban, asal kita tak mengulang kesalahan yang sama.
KUD, JA, dan Mimpi yang Terkubur
Kisah KUD: Ketika Koperasi Jadi Alat Kekuasaan
Di era 1980-an, KUD tumbuh bak jamur. Tapi seperti wayang, geraknya ditentukan dari atas. Pemerintah memaksa KUD menjual pupuk bersubsidi, jadi penyalur program BIMAS, tanpa peduli bahwa petani di Lombok butuh benih padi, sementara di NTT lebih cocok jagung.
Hasilnya? KUD mati perlahan. Saat krisis 1998 datang, mereka ambruk seperti rumah kartu—tak ada akar di masyarakat.
JA Jepang: Bangkit dari Abu Fasisme
JA berbeda. Lahir dari Nōgyōkai—organisasi fasis pengontrol pangan era perang—mereka direformasi oleh Jenderal MacArthur.
Petani tak lagi dipaksa, tapi diajak bermusyawarah. Norinchukin Bank, institusi keuangan JA, tak hanya mengumpulkan simpanan, tapi berani investasi di obligasi AS.
Hasilnya? JA bertahan meski Jepang kini hanya punya 1,4 juta petani—sepertiganya berusia di atas 70 tahun.
Trilogi yang Menyatukan Idealisme dan Realita
- Ekspektasi Rasional: Menanam dengan Kalkulator, Bukan Hoki
Di Jepang, petani tak lagi menebak hujan. JA menyediakan data cuaca real-time via aplikasi, sementara Norinchukin Bank mengalirkan dana ke riset robot panen. Ini bukan romantisme “petani tradisional”, tapi pertanian 4.0 yang presisi.
KDMP bisa meniru:
- Gunakan big data untuk petakan potensi desa.
- Alokasi dana Rp3–5 miliar per KDMP tak boleh seragam: desa penghasil kopi butuh mesin sangrai, desa pesisir butuh cold storage ikan.
- Kerjasama: Dari Bursa Beras hingga Blockchain
JA sukses karena jaringan hierarkisnya:
- Desa: Unit koperasi lokal yang akrab dengan tanah.
- Prefektur: Mengkonsolidasikan produksi.
- Nasional: Zen-Noh menguasai 70% pasar beras Jepang.
Tapi kerjasama ini bukan monolitik. Di Okinawa, JA mengembangkan nanas organik; di Hokkaido, mereka ekspor susu premium.
- Kelembagaan: Menjaga Api dalam Sekam
Norinchukin Bank punya cadangan likuiditas ¥90 triliun (sekitar Rp 10170 triliun). Dana sebesar itu rawan korupsi, tapi JA bertahan dengan audit ketat dan transparansi. Kuncinya: petani adalah pemilik sekaligus pengawas.
Hak Pengelolaan Lahan Pertanian (HPLP): Ketika Tanah Jadi Mata Uang
HPLP: Revolusi yang Terlupakan
Ada satu terobosan yang bisa dan kuat dilakukan KDMP yaitu penerbitan Hak Pengelolaan Lahan Pertanian (HPLP).
Model kapitalisasi aset fisik menjadi aset finansial koperasi ini analog dengan ciptaan Belanda melalui Agrarischwet 1870 yaitu Hak Guna Usaha (HGU).
Model HPLP ini mengubah tanah dari aset fisik mati menjadi aset finansial bernyawa. Caranya?
- Kepemilikan Tetap di Petani: Lahan tetap milik petani, tetapi hak kelola diserahkan ke KDMP selama 25 tahun.
- Agunan untuk Modal: KDMP bisa menjadikan HPLP sebagai jaminan pinjaman ke bank. Jika lahan seluas 7,46 juta ha dihargai Rp300 juta/ha, nilai HPLP-nya mencapai Rp1.119 triliun (50% nilai pasar)—modal raksasa untuk membangun infrastruktur desa.
- Insentif Timbal Balik: Petani dapat “sewa” 5-10% dari pendapatan kotor pengelolaan lahan.
Inspirasi Global:
- Belanda: Land Trust mengelola lahan dengan sewa 99 tahun, hasilnya untuk energi terbarukan.
- Brasil: Assentamentos memakai hak kelola 50 tahun sebagai agunan kredit pertanian.
Mengapa Ini Berbeda dari KUD?
KUD gagal karena dana menguap ke proyek fiktif. Model HPLP perlu dirancang untuk menciptakan siklus ekonomi nyata:
- Petani dapat insentif tunai.
- KDMP bangun infrastruktur (irigasi, gudang) dengan pinjaman berbasis HPLP.
- Hasil panen meningkat, nilai lahan naik—sehingga nilai HPLP pun ikut terdongkrak.
Kritik dan Jawaban: Mengapa KDMP Bisa Berbeda?
“Ini KUD Jilid Dua!”
Memang, KUD gagal karena:
- Dana menguap di jalan (korupsi).
- Program seragam untuk konteks berbeda.
Tapi JA dan HPLP membuktikan koperasi top-down bisa berhasil jika:
- Dana Dikontrol Desa: Blockchain untuk lacak setiap rupiah.
- Otonomi Kreatif: KDMP di Bali boleh kembangkan ekowisata; di Kalimantan fokus pada sawit berkelanjutan.
“Dana Rp400 Triliun? Ini Proyek Cuci Uang!”
JA pun pernah dicurigai. Tapi dengan:
- Badan Audit Desa (gabungan petani, akademisi, ulama).
- Sistem Gaji Digital (transfer langsung ke rekening anggota), risiko bisa diminimalkan.
2045: Saat Koperasi Menjadi Nadi Ekonomi
Bayangkan Indonesia 2045:
- Desa Penghasil Energi: KDMP di Flores mengelola PLTS komunitas, menjual listrik ke Jawa via smart grid.
- Petani Data Scientist: Anak muda lulusan IPB mengelola drone pemetaan lahan dari balik laptop.
- Ekspor Cerita, Bukan Komoditas: Kopi Toraja tak lagi dijual mentah, tapi sebagai paket “pengalaman panen virtual” dengan sertifikasi blockchain.
Ini bukan utopia. JA sudah membuktikan:
- 40% pendapatan JA berasal dari bisnis non-pertanian (asuransi, SPBU).
- Jepang tetap eksis di pasar global meski 60% lahannya pegunungan.
Epilog: Filsafat yang Lahir dari Lumpur Sawah
Pasal 33 UUD 1945 sering disebut-sebut, tapi jarang dipahami. Esensinya bukan sekadar “koperasi”, tapi:
- Kedaulatan: Tak lagi tergantung pada tengkulak atau pasar global.
- Kekeluargaan: Bukan sosialisme, tapi gotong royong berbasis kepercayaan.
- Keberlanjutan: Lahan bukan komoditas, tapi warisan untuk cucu.
Kritikus mungkin benar: KDMP berisiko. Tapi seperti fakta sejarah pembangunan, “Kemerdekaan Bagi Petani Kemerdekaan untuk Semua”.
JA lahir dari reruntuhan perang; KDMP bisa lahir dari reruntuhan sistem ekonomi yang tak lagi berpihak pada rakyat.
Di tangan petani yang melek data, nelayan yang paham blockchain, dan pemuda desa yang mampu membalik makna urbanisasi, koperasi bukan lagi romantisme masa lalu—tapi senjata untuk mengisi masa depan.
“Di sawah-sawah yang sunyi, di balik angka-angka statistik, di situlah revolusi sejati dimulai.”
Agus Pakpahan adalah Rektor Ikopin University, Pakar Ekonomi Kelembagaan.