DI ZAMAN ketika jempol lebih cepat dari akal, kebenaran telah kehilangan pijakannya. Ia tak lagi berdiri di atas data, bukti, atau verifikasi.
Hari ini, kebenaran ditentukan oleh siapa yang menyuarakan, seberapa viral narasinya, dan seberapa kuat emosi yang dikemas di baliknya.
Inilah era kebenaran baru: ketika framing lebih menentukan dari fakta. Dan dalam dunia seperti ini, yang menang bukanlah yang benar—tetapi yang lebih dulu dan lebih nyaring.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Viralkan Saja Dulu”: Etika Baru di Era Scroll
Di media sosial, ada satu mantra yang makin sering kita dengar: “Viralkan saja dulu.” Kadang tujuannya mulia—menuntut keadilan, menyuarakan ketimpangan. Tapi terlalu sering, itu hanya jadi pintu masuk menuju perhatian, klik, dan sensasi instan.
Contohnya banyak. Seorang ibu di Polewali Mandar diviralkan karena keterbatasannya, hingga Menteri Sosial turun langsung. Anak-anak berseragam lusuh masuk TV dan dibanjiri bantuan. Kamera ternyata lebih ampuh daripada surat resmi. Tapi apakah semua itu selalu baik?
Sayangnya tidak.
Ketika Kebaikan Viral Jadi Pedang Bermata Dua
Apa yang terlihat menyentuh di layar ponsel bisa menjadi bencana bagi mereka yang jadi objeknya. Karena viralitas tak datang sendirian.
Ia membawa eksposur, pelabelan, dan sering kali trauma. Ketika narasi dibumbui dengan hiperbola, fakta kerap jadi korban pertama.
Dan publik—yang semula empatik—bisa berubah beringas saat merasa tertipu. Satu kesalahan framing saja bisa berujung pada hujatan massal yang kejam.
Dalam dunia digital, simpati dan amarah hanya dipisahkan oleh satu unggahan tambahan.
Fakta vs Framing: Siapa yang Menang?
Hari ini, fakta tak lagi jadi panglima. Yang menentukan adalah narasi: seberapa menarik, emosional, dan mudah dicerna.
Framing menjadi senjata, dan sayangnya, tidak semua orang sadar sedang di-framing.
Masyarakat kita belum cukup melek terhadap cara kerja narasi. Literasi digital masih sebatas “cari tahu hoaks”, bukan “pahami kenapa kamu percaya sesuatu”.
Bagaimana Pikiran Kita Dimanipulasi Tanpa Sadar
Dalam dunia hipnoterapi, ada satu prinsip kunci untuk memengaruhi pikiran bawah sadar: repetisi.
Saat sebuah informasi diulang terus-menerus, ia akan melewati sistem penyaring alami otak—disebut Reticular Activating System—dan masuk ke alam bawah sadar.
Begitulah cara kerja propaganda, iklan, bahkan hoaks. Terus diulang dalam meme, video, komentar, dan berita.
Lama-lama, otak kita berhenti bertanya: Benarkah ini? dan mulai berkata: Sepertinya memang begini.
Efek ini disebut “illusory truth effect”—seseorang cenderung mempercayai informasi yang sering dia dengar, terlepas dari benar atau salahnya (Fazio et al., 2015).
Di sisi hipnoterapi, ini adalah bentuk mass suggestion—sugesti kolektif yang menyelinap lewat jalur emosional dan visual.
Kasus “Ijazah Palsu” dan Ilusi Kebenaran
Contoh paling telanjang adalah narasi “ijazah palsu” Presiden Joko Widodo. Padahal UGM sudah mengonfirmasi keabsahan dokumennya.
Tapi narasi tentang “palsu” itu terus digoreng, diulang, dan dikemas ulang. Tujuannya bukan membuktikan, tapi memengaruhi.
Dan ketika persepsi sudah terbentuk, kebenaran jadi tidak penting lagi. Seperti kata Greenwald (1989), saat seseorang merasa telah menemukan “kebenarannya sendiri”, hampir mustahil meyakinkannya dengan data.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Jika kebenaran bisa dikalahkan oleh framing, maka melawan dengan cara lama—debat kusir, klarifikasi berulang—tidak lagi cukup.
Kita perlu pendekatan baru. Strategi cerdas. Bukan hanya membentak, tapi membingkai ulang.
1. Literasi Naratif, Bukan Sekadar Digital
Ajarkan masyarakat membaca narasi, bukan hanya mengenali hoaks. Pahami konteks, kenali emosi yang dimanfaatkan, dan pertanyakan motif di balik informasi.
2. Aliansi Akal Sehat
Jurnalis, akademisi, kreator konten, influencer—harus bersatu. Kita butuh ekosistem informasi yang bisa menyaingi hoaks dalam kecepatan dan daya tarik, tanpa mengorbankan kebenaran.
3. Perlindungan untuk Suara Minoritas Kritis
Kebenaran yang tidak populer sering dibungkam. Negara dan platform digital perlu menjamin ruang aman bagi suara-suara yang melawan arus.
4. Etika Digital sebagai Bekal Hidup
Satu klik “share” bisa mengubah hidup seseorang. Menyebar informasi bukan cuma soal “bisa”, tapi “pantas”.
5. Validasi Dulu, Baru Viral
Kita butuh pola pikir baru: viralkan yang benar, bukan benarkan yang viral. Atau seperti kata Gus Nadir: “Saring sebelum sharing.”
Akhir Kata: Menjaga Nyala Kebenaran
Ini bukan sekadar perang antara benar dan salah. Ini soal siapa yang sadar, dan siapa yang lalai.
Yang sadar, punya tanggung jawab untuk menjaga nyala kebenaran. Meski kecil, jangan biarkan padam.
Karena kalau kita menyerah, yang menang bukanlah fakta—tapi framing yang paling keras suaranya.
“Orang bijak tidak hanya mencari kebenaran, tapi juga bertanya: mengapa aku percaya ini?”
Penulis : Bar Bernad