“Di dunia yang tak masuk akal ini, keberanian untuk tetap hidup adalah bentuk perlawanan.” — Albert Camus
PERNYATAAN ikonik dari filsuf eksistensialis Albert Camus ini bukan sekadar kalimat puitis; ia adalah inti dari filosofi Absurditas.
Camus melihat realitas sebagai pertemuan yang tak terhindarkan antara keinginan bawaan manusia akan makna dan keheningan dunia yang dingin dan acuh tak acuh.
Dunia tidak memberikan jawaban, dan segala upaya kita untuk menemukan makna yang tunggal dan universal akan selalu gagal. Inilah yang disebutnya Absurd.
Namun, alih-alih menyerah pada nihilisme, Camus justru menawarkan jalan keluar yang radikal: perlawanan.
Tiga Jawaban untuk Absurditas
Menurut Camus, manusia dihadapkan pada tiga pilihan ketika menyadari Absurditas:
- Bunuh Diri (Fisik atau Filosofis): Ini adalah upaya untuk melarikan diri dari Absurditas. Bunuh diri fisik mengakhiri hidup; bunuh diri filosofis (seperti melompat pada keyakinan agama atau sistem nilai yang “menjelaskan” segalanya) adalah mengakhiri akal sehat dan penerimaan terhadap realitas yang tak masuk akal. Camus menolak kedua hal ini sebagai bentuk penipuan diri.
- Harapan: Berharap bahwa pada akhirnya akan ada makna, keadilan, atau kejelasan di masa depan—ini adalah penundaan yang sia-sia, sebuah bentuk penolakan untuk hidup sepenuhnya di masa kini.
- Pemberontakan/Perlawanan (Revolt): Inilah pilihan Camus. Perlawanan bukan berarti revolusi politik (walaupun bisa jadi manifestasinya), melainkan pemberontakan eksistensial terhadap takdir tanpa makna. Itu adalah tindakan kesadaran—menyadari sepenuhnya Absurditas namun memilih untuk tetap hidup di dalamnya.
Keberanian untuk Tetap Hidup sebagai Tindakan Perlawanan
Mengapa bertahan hidup di tengah ketiadaan makna adalah sebuah perlawanan?
Perlawanan, dalam konteks Camus, adalah penolakan untuk menyerah pada kehancuran atau keputusasaan. Itu adalah penegasan terhadap kehidupan di hadapan ketiadaan arti.
Bayangkan tokoh mitos Sisyphus. Dihukum untuk selamanya mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Tugasnya sia-sia, absurd.
Namun, Camus mengatakan bahwa pada saat Sisyphus berbalik dan berjalan kembali ke bawah gunung—saat ia sepenuhnya menyadari kesia-siaan nasibnya—justru di situlah kemenangannya.
Keberanian Sisyphus bukan terletak pada berharap batu itu akan tetap di atas, melainkan pada kesadarannya akan hukumannya dan pilihannya untuk terus menjalaninya dengan penuh kesadaran.
Demikian pula, keberanian kita untuk tetap hidup adalah:
- Pemberontakan Terhadap Kematian: Jika tidak ada Tuhan atau janji keabadian, maka hidup tunggal ini adalah semua yang kita miliki. Untuk menjalani setiap momen dengan intensitas, gairah, dan kesadaran penuh adalah perlawanan terhadap kehampaan yang menanti.
- Kejelasan vs. Kenyamanan: Perlawanan adalah memilih kejelasan (melihat dunia apa adanya, tak masuk akal) di atas kenyamanan (menciptakan ilusi makna). Ini membutuhkan keberanian intelektual yang luar biasa.
- Mengisi Kekosongan: Ketika dunia tidak memberikan makna, kita harus menciptakan makna melalui tindakan kita sendiri. Cinta, persahabatan, seni, keadilan sosial—semua ini adalah nilai-nilai manusiawi yang kita afirmasi dan ciptakan dalam menghadapi Absurditas. Mereka mungkin tidak abadi, tetapi mereka adalah perlawanan yang indah.
Hidup dengan Gairah
Pada akhirnya, ajakan Camus bukanlah untuk hidup suram dan pesimis. Sebaliknya, ia adalah seruan untuk intensitas. Karena hidup itu sementara dan tanpa makna transenden, kita harus memeluk semua yang ditawarkannya dengan gairah (passion).
Untuk mencintai tanpa jaminan, untuk bekerja demi keadilan tanpa janji kemenangan abadi, dan untuk tertawa meskipun menyadari kefanaan—itulah bentuk perlawanan tertinggi.
Dalam dunia yang absurd, orang yang berani bangun setiap pagi dan memilih untuk hidup dengan sadar adalah pahlawan sejati. Mereka menolak menjadi korban Absurditas; mereka menjadikannya kanvas tempat mereka melukis kebebasan dan perlawanan mereka.
Keberanian untuk tetap hidup adalah perlawanan karena itu adalah penegasan diri yang kuat, tindakan kemanusiaan yang teguh, dan pengakuan yang jujur bahwa, meskipun hidup mungkin tidak memiliki makna yang diberikan, ia sepenuhnya layak dijalani.***
– Serial Filsafat –





















