Bekasi, Mevin.ID – Namanya Keimita Ayuni Putri Aiman, usianya baru 12 tahun. Ia bukan siapa-siapa di mata sistem, tapi suaranya menggetarkan hati ribuan orang yang menonton videonya di media sosial.
Dalam video berdurasi singkat itu, Keimita menyampaikan kekecewaan setelah dinyatakan tidak lolos Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) di SMP Negeri sekitar tempat tinggalnya di Bantar Gebang, Bekasi.
“Baru saja saya lulus SD. Saya bermimpi bisa masuk SMP Negeri di Bantar Gebang. Tapi sekarang, saya gagal,” ucapnya lirih, seraya memohon maaf kepada orang tua dan gurunya karena belum bisa memenuhi harapan mereka.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
@humasmediaindonesiamajuMohon Bantuannya Untuk Ade Ini Ditolak Sama SMP Negeri Bantar Gebang Kota Bekasi Karena Kedua Orang Tuanya Kerjanya Sebagai Pemulung, Tolong Dibantu Untuk Share Sampai Ke Walikota Bekasi Jawa Barat #viral #breakingnews #terkini #terbaru #sekolah #pendidikan #bekasi #bantargebang #jawabarat #presiden #ri ♬ suara asli – Humas Media Indonesia Maju – Humas Media Indonesia Maju
Di Tengah Sampah dan Mimpi yang Berserakan
Keimita tinggal di kawasan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, salah satu gunung sampah terbesar di Indonesia. Ia adalah anak dari keluarga pemulung, yang sejak kecil sudah terbiasa membantu mengumpulkan botol plastik dan kardus bekas demi menambah penghasilan orang tuanya.
Namun di balik kerasnya hidup, Keimita tetap belajar, tetap berharap. Ia lulus dari SD Negeri dengan nilai akademik yang baik dan semangat tinggi untuk melanjutkan pendidikan. Sayangnya, sistem seleksi berbasis zonasi dan afirmasi justru menutup pintu untuknya.
Jalur Afirmasi: Untuk Siapa Sebenarnya?
Dalam aturan SPMB, terdapat empat jalur penerimaan, salah satunya Jalur Afirmasi—diperuntukkan bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Namun, kasus Keimita menimbulkan pertanyaan: untuk siapa sebenarnya jalur afirmasi itu dibuat?
“Orang tua saya hanya pemulung. Kami tidak punya biaya untuk sekolah swasta. Kalau tidak diterima di negeri, saya rela berhenti sekolah,” ucap Keimita dalam nada pasrah yang menyayat.
Pernyataan itu seolah menampar narasi pemerintah yang selama ini menjanjikan sistem pendidikan yang adil dan inklusif. Padahal, saat audiensi dengan AWPI pada 11 Juni 2025, Wakil Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Warsim Suryana, menegaskan bahwa SPMB 2025/2026 dirancang lebih transparan dan adil. Ia juga menyebut ada mekanisme verifikasi Jalur Afirmasi untuk memastikan siswa benar-benar membutuhkan.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
Ketika Sistem Gagal Melihat yang Tak Tercatat
Kasus Keimita mencerminkan bagaimana anak-anak dari keluarga marjinal seringkali tidak terlihat dalam sistem yang katanya “berkeadilan”. Apakah karena mereka tak memiliki dokumen lengkap? Atau karena sistem lebih berpihak pada yang punya akses dan koneksi?
Jika anak berprestasi dari keluarga pemulung saja tidak tertolong oleh Jalur Afirmasi, maka urgensi evaluasi total tak bisa ditunda. Bukan hanya soal angka penerimaan, tapi tentang siapa yang diutamakan dalam sistem pendidikan kita.
“Pak, Ibu, Jangan Ragukan Cita-Cita Saya”
Meski pahit, Keimita belum menyerah. Dalam pesannya kepada kedua orang tuanya, ia berkata:
“Pak, Ibu, jangan ragukan cita-cita saya. Karena itu akan selalu hidup.”
Kalimat sederhana itu kini menyulut solidaritas. Tagar #SaveKeimita mulai menggema di media sosial, mendesak intervensi cepat dari Pemerintah Kota Bekasi agar anak-anak seperti Keimita tetap bisa melanjutkan sekolah.
Masyarakat berharap, ini bukan sekadar viral sesaat. Mereka ingin perubahan nyata—mulai dari verifikasi data afirmasi, pendampingan untuk anak-anak marginal, hingga transparansi yang benar-benar bisa diuji publik.
Karena Mimpi Tidak Boleh Mati di Tumpukan Sampah
Di Bantar Gebang, anak-anak tak hanya bertarung melawan bau dan penyakit. Mereka bertarung melawan sistem yang sering gagal memahami kenyataan hidup mereka. Keimita adalah satu dari ribuan anak yang ingin sekolah, bukan dikasihani. Mereka hanya ingin kesempatan.
Dan ketika negara abai, suara lirih seorang anak pemulung bisa lebih keras dari slogan kebijakan manapun.***
Penulis : Fathur Rachman
Editor : Pratigto