Bekasi, Mevin.ID – Suara kemarahan warga Perumahan Mustikagrande kembali bergema. Melalui Aliansi Mustikagrande Bersatu (AMGB), mereka menuding adanya “kejahatan berjamaah” yang melibatkan sejumlah pihak — mulai dari pemerintah desa, pengembang, hingga aparatur daerah — atas penyalahgunaan lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum (Fasos-Fasum) yang seharusnya menjadi hak warga.
Ketua AMGB, Pratigto, menyatakan kekecewaannya terhadap Bupati Bekasi dan jajarannya yang dianggap melakukan pembiaran terhadap praktik melanggar hukum tersebut.
“Kami sudah bertahun-tahun menyuarakan persoalan ini, tapi pemerintah seolah tutup mata. Kejahatan ini terjadi di depan mata, dan tidak ada yang berani menghentikannya,” ujarnya, Minggu (5/10/2025).
Pelanggaran yang Dibiarkan Bertahun-tahun
Sejak 2022, warga Mustikagrande telah meminta Pemkab Bekasi dan aparat penegak hukum untuk menindak pengembang PT Budi Mustika, Kepala Desa Burangkeng, serta oknum Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dan tim pembebasan lahan tol yang dianggap tidak amanah. Namun hingga kini, permintaan itu tak direspons.
Ironisnya, pengembang Jalan Tol Japek II Bekasi kini disebut berani membangun akses pintu masuk jalan tol di atas lahan Fasos-Fasum milik warga Mustikagrande — tanpa rasa takut berhadapan dengan hukum.
“Bayangkan, di atas lahan warga dibangun proyek besar, dan pemerintah hanya diam,” tegas Pratigto.
Padahal, Perda Kabupaten Bekasi Nomor 9 Tahun 2017 dengan jelas mengatur tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) oleh developer kepada pemerintah daerah. Namun dalam praktiknya, warga menilai aturan tersebut hanya menjadi pajangan hukum tanpa wibawa.
Kekecewaan terhadap Pemerintah dan Tokoh Lokal
Warga juga menyoroti lemahnya sikap para ketua RT dan RW yang dianggap hanya menikmati jabatan tanpa membela kepentingan masyarakat.
“Mereka menerima honor dari uang rakyat, tapi diam ketika hak warga dirampas. Di mana tanggung jawab moral mereka?” kritik Pratigto.
AMGB mengaku telah melayangkan laporan resmi ke Pemkab Bekasi dan Kejaksaan Negeri, namun hingga kini tak ada tindak lanjut yang nyata. Kondisi ini membuat warga semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.
Negara Harus Hadir, Bukan Jadi Penonton
Bagi warga Mustikagrande, masalah ini bukan sekadar sengketa lahan — tapi simbol betapa lemahnya perlindungan negara terhadap rakyat kecil di hadapan kepentingan modal dan kekuasaan.
“Kami tidak butuh janji, kami butuh tindakan. Jangan biarkan kejahatan berjamaah ini terus berlangsung atas nama pembangunan,” tegas Pratigto menutup pernyataannya.***
Penulis : Clendy Saputra
Editor : Pratigto





















