Jakarta, Mevin.ID – Bank Dunia kembali menyoroti kondisi kelas menengah di Indonesia yang dinilai semakin tertekan dan mengalami penyusutan signifikan pasca pandemi.
Dalam laporan terbarunya, Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025, lembaga internasional ini menyebutkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah Indonesia menyusut dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi hanya 47,8 juta orang pada 2024.
Menurut Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, situasi ini mencerminkan melemahnya struktur ketenagakerjaan yang ditandai dengan rendahnya produktivitas dan minimnya jaminan kerja.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Semakin sedikit pekerja yang mampu mencapai standar hidup kelas menengah. Mereka bekerja di sektor informal atau di bidang dengan produktivitas rendah,” kata Habib dalam peluncuran laporan tersebut, Senin (23/6/2025).
Sektor Produktivitas Rendah dan PHK Massal
Sebagian besar pekerjaan yang tercipta berada di sektor perdagangan grosir, pertanian, jasa, dan manufaktur bernilai tambah rendah. Bank Dunia mencatat, sekitar 60% pekerja di Indonesia masih berada di sektor informal, tanpa perlindungan dan keamanan kerja yang layak.
Lebih buruk lagi, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat tajam. Jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan melonjak dari 3.325 orang pada Januari menjadi 18.610 orang pada Februari 2025.
Sektor manufaktur di Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau—khususnya industri tekstil, elektronik, dan alas kaki—menjadi yang paling terdampak, dengan sedikitnya 10 perusahaan tutup pada kuartal I-2025.
Upah nominal pun tidak menunjukkan pertumbuhan signifikan, hanya meningkat 1,8% year-on-year pada Februari 2025—angka yang hampir setara dengan inflasi.
Daya Konsumsi Kelas Menengah Tertinggal
Bank Dunia juga mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi kelas menengah tertinggal dibandingkan kelas bawah dan kelas atas. Kelompok masyarakat termiskin (40% terbawah) justru mencatatkan pertumbuhan konsumsi 2–3% per tahun karena ditopang bantuan sosial, sementara kelompok 10% terkaya mengalami peningkatan konsumsi sekitar 3% per tahun.
Sebaliknya, kelompok kelas menengah dan calon kelas menengah (persentil ke-40 hingga ke-90 distribusi konsumsi) hanya tumbuh 1,3% per tahun selama 2019–2024.
“Ini adalah tantangan serius karena kelas menengah merupakan motor pertumbuhan untuk konsumsi barang dan jasa bernilai tambah tinggi, yang mendorong ekonomi naik kelas,” tegas Habib.
Butuh Perubahan Struktural
Bank Dunia menilai bahwa stagnasi kelas menengah menjadi indikator lemahnya pemerataan kesejahteraan ekonomi. Untuk membalikkan tren ini, dibutuhkan strategi nasional yang mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas, reformasi upah, dan dorongan investasi di sektor bernilai tambah tinggi.
Kelas menengah yang kuat, menurut Bank Dunia, bukan hanya mencerminkan kesejahteraan, tapi juga menjamin stabilitas sosial dan pasar domestik yang sehat.***