KUTIPAN William Shakespeare—”Sungguh mengerikan era dimana orang-orang bodoh memerintah orang-orang buta”— bukan sekadar baris puitis berusia berabad-abad.
Ia adalah detak jantung yang berdenyut kencang, sebuah alarm yang tak pernah usang, menggetarkan setiap orang yang peduli pada nasib peradaban.
Inilah inti dari drama kemanusiaan yang diangkat dalam artikel: kita sedang menyaksikan bukan hanya konflik antara baik dan buruk, tetapi tragedi senyap antara Kualitas dan Kesadaran.
Tragedi Si ‘Orang Bodoh’ yang Berkuasa
Di panggung kekuasaan, “orang bodoh” bukanlah sekadar individu yang kurang cerdas secara akademis. Ia adalah arketipe yang lebih dalam: seorang pemimpin yang miskin integritas, enggan belajar, dan tuli terhadap kebenaran.
Bayangkan sebuah kapal yang nakhodanya menolak menggunakan kompas, mengabaikan peringatan badai, dan hanya mengikuti insting egois.
Kekuasaan yang ia pegang menjadi senjata tumpul yang melukai diri sendiri dan orang banyak.
Dari situasi ini terletak pada kerapuhan harapan. Ketika rakyat menggantungkan impian pada pundak pemimpin, namun yang mereka temui adalah kesombongan yang dibalut kebodohan, maka yang tersisa adalah kekecewaan yang menusuk dan hilangnya arah kolektif.
Setiap kebijakan gegabah yang diambil bukan hanya merusak statistik negara, tapi juga menghancurkan mimpi satu per satu keluarga—masa depan anak-anak, kesehatan para orang tua, dan mata pencaharian harian.
Kebutaan yang Lebih Menyakitkan: Pilihan untuk Diam
Namun, bagian paling menyayat dari kutipan Shakespeare adalah peran “orang-orang buta.” Ini mengingatkan kita bahwa kebutaan ini bukanlah cacat fisik, melainkan pilihan untuk pasif.
Mereka adalah kita, masyarakat yang memilih kenyamanan palsu daripada kebenasan. Kita yang menyaksikan ketidakadilan, mendengar kebohongan, namun memilih menundukkan kepala, takut kehilangan kedamaian semu.
Mengapa kita memilih buta? Karena bersuara itu melelahkan, mengkritik itu berisiko, dan berjuang menuntut kebenaran itu menyakitkan.
Keengganan untuk kritis adalah karamnya perahu kesadaran. Ketika mayoritas rakyat memilih peran penonton pasif, mereka tidak hanya mengizinkan kebodohan berkuasa, tetapi mereka melipatgandakan bencana itu sendiri.
Kehancuran sebuah bangsa, bukan hanya tanggung jawab pemimpin yang cacat, tetapi juga dosa kolektif rakyat yang menutup mata.
Jalan Pulang Menuju Kesadaran
Kutipan dan refleksi ini pada akhirnya adalah sebuah seruan kemanusiaan. Kita tidak bisa hanya menunggu pemimpin yang bijaksana muncul dari langit. Solusinya, seperti yang ditekankan di akhir artikel, adalah kesadaran kolektif.
Untuk pemimpin, ini adalah ajakan untuk berendah hati, menjadikan kritik sebagai nutrisi, dan meletakkan kebijaksanaan di atas ego. Untuk rakyat, ini adalah panggilan bangun—untuk melepas selimut kepasifan, mengasah nalar kritis, dan berani bersuara.
Era yang mengerikan akan sirna ketika mata rakyat terbuka dan mereka berani menuntut integritas dari mata pemimpin.
Hanya dengan keseimbangan dan tanggung jawab bersama—antara kualitas kepemimpinan dan kesadaran rakyat—kita dapat menghindari karamnya perahu bangsa di tengah samudera kebodohan.
Kutipan Shakespeare, pada intinya, adalah tantangan bagi kita semua: Apakah kita akan terus menjadi figuran dalam drama tragedi yang telah ditulis berabad-abad lalu, atau akankah kita menulis ulang naskah itu dengan pena kesadaran dan keberanian?***




















