Ketika Layar Kehidupan Menjadi Cermin: Jeritan Hati di Era ‘Orang Bodoh dan Orang Buta’

- Redaksi

Kamis, 9 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

KUTIPAN William Shakespeare—”Sungguh mengerikan era dimana orang-orang bodoh memerintah orang-orang buta”— bukan sekadar baris puitis berusia berabad-abad.

Ia adalah detak jantung yang berdenyut kencang, sebuah alarm yang tak pernah usang, menggetarkan setiap orang yang peduli pada nasib peradaban.

Inilah inti dari drama kemanusiaan yang diangkat dalam artikel: kita sedang menyaksikan bukan hanya konflik antara baik dan buruk, tetapi tragedi senyap antara Kualitas dan Kesadaran.

Tragedi Si ‘Orang Bodoh’ yang Berkuasa

Di panggung kekuasaan, “orang bodoh” bukanlah sekadar individu yang kurang cerdas secara akademis. Ia adalah arketipe yang lebih dalam: seorang pemimpin yang miskin integritas, enggan belajar, dan tuli terhadap kebenaran.

Bayangkan sebuah kapal yang nakhodanya menolak menggunakan kompas, mengabaikan peringatan badai, dan hanya mengikuti insting egois.

Kekuasaan yang ia pegang menjadi senjata tumpul yang melukai diri sendiri dan orang banyak.

Dari situasi ini terletak pada kerapuhan harapan. Ketika rakyat menggantungkan impian pada pundak pemimpin, namun yang mereka temui adalah kesombongan yang dibalut kebodohan, maka yang tersisa adalah kekecewaan yang menusuk dan hilangnya arah kolektif.

Setiap kebijakan gegabah yang diambil bukan hanya merusak statistik negara, tapi juga menghancurkan mimpi satu per satu keluarga—masa depan anak-anak, kesehatan para orang tua, dan mata pencaharian harian.

Kebutaan yang Lebih Menyakitkan: Pilihan untuk Diam

Namun, bagian paling menyayat dari kutipan Shakespeare adalah peran “orang-orang buta.” Ini mengingatkan kita bahwa kebutaan ini bukanlah cacat fisik, melainkan pilihan untuk pasif.

Mereka adalah kita, masyarakat yang memilih kenyamanan palsu daripada kebenasan. Kita yang menyaksikan ketidakadilan, mendengar kebohongan, namun memilih menundukkan kepala, takut kehilangan kedamaian semu.

Mengapa kita memilih buta? Karena bersuara itu melelahkan, mengkritik itu berisiko, dan berjuang menuntut kebenaran itu menyakitkan.

Keengganan untuk kritis adalah karamnya perahu kesadaran. Ketika mayoritas rakyat memilih peran penonton pasif, mereka tidak hanya mengizinkan kebodohan berkuasa, tetapi mereka melipatgandakan bencana itu sendiri.

Kehancuran sebuah bangsa, bukan hanya tanggung jawab pemimpin yang cacat, tetapi juga dosa kolektif rakyat yang menutup mata.

Jalan Pulang Menuju Kesadaran

Kutipan dan refleksi ini pada akhirnya adalah sebuah seruan kemanusiaan. Kita tidak bisa hanya menunggu pemimpin yang bijaksana muncul dari langit. Solusinya, seperti yang ditekankan di akhir artikel, adalah kesadaran kolektif.

Untuk pemimpin, ini adalah ajakan untuk berendah hati, menjadikan kritik sebagai nutrisi, dan meletakkan kebijaksanaan di atas ego. Untuk rakyat, ini adalah panggilan bangun—untuk melepas selimut kepasifan, mengasah nalar kritis, dan berani bersuara.

Era yang mengerikan akan sirna ketika mata rakyat terbuka dan mereka berani menuntut integritas dari mata pemimpin.

Hanya dengan keseimbangan dan tanggung jawab bersama—antara kualitas kepemimpinan dan kesadaran rakyat—kita dapat menghindari karamnya perahu bangsa di tengah samudera kebodohan.

Kutipan Shakespeare, pada intinya, adalah tantangan bagi kita semua: Apakah kita akan terus menjadi figuran dalam drama tragedi yang telah ditulis berabad-abad lalu, atau akankah kita menulis ulang naskah itu dengan pena kesadaran dan keberanian?***

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi
Api di Balik Tembok Sekolah
Kebijaksanaan Tuan Rumah di Era Cepat: Relevansi Confucius tentang Masalah sebagai Tamu di Dunia Modern
Kritik Anies Soal Whoosh dan “Warga +62” yang Tak Lupa
Menempa Nasib di Panggangan Kebiasaan: Refleksi Filsafat Aristoteles
Bayangan Kebahagiaan: Menemukan Sumber Sejati dalam Pikiran yang Jernih
Dua Burung dan Empat Sayap yang Lumpuh: Pelajaran Kebebasan Sejati dari Rumi
Bandung dan Lingkaran Korupsi?

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 19:46 WIB

Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Sabtu, 8 November 2025 - 09:31 WIB

Api di Balik Tembok Sekolah

Jumat, 7 November 2025 - 23:33 WIB

Kebijaksanaan Tuan Rumah di Era Cepat: Relevansi Confucius tentang Masalah sebagai Tamu di Dunia Modern

Jumat, 7 November 2025 - 21:48 WIB

Kritik Anies Soal Whoosh dan “Warga +62” yang Tak Lupa

Jumat, 7 November 2025 - 19:38 WIB

Menempa Nasib di Panggangan Kebiasaan: Refleksi Filsafat Aristoteles

Berita Terbaru

Humaniora

Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Sabtu, 8 Nov 2025 - 19:46 WIB

Selebgram Lisa Mariana (tengah) menemui awak media di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (7/8/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani

Entertaintment

Lisa Mariana dan Rekan Pria Jadi Tersangka Kasus Video Syur

Sabtu, 8 Nov 2025 - 19:46 WIB