Pangandaran, Mevin.ID – Di lorong-lorong lengang Pasar Pananjung, Pangandaran, deretan kios tampak tertutup rapat. Sebagian lainnya terbuka setengah hati, menunggu pembeli yang tak kunjung datang.
Di salah satu sudut pasar, Bu Lilis (bukan nama sebenarnya – 48), pedagang sayur yang telah berjualan selama lebih dari 15 tahun, duduk termenung di depan tumpukan kangkung dan bayam yang mulai layu.
“Dulu sebelum jam delapan pagi sudah ramai. Sekarang jam sebelas siang pun pembeli bisa dihitung jari,” ujarnya pelan.
Cerita Bu Lilis bukan cerita tunggal. Ia bagian dari lebih dari seribu pedagang pasar tradisional di Pangandaran yang kini harus menghadapi realitas pahit: dagangan sepi, biaya operasional tetap jalan, dan digitalisasi terus menekan.
Menurut data Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan (Diskop UMKM Perindag) Kabupaten Pangandaran, sebanyak 1.517 pedagang dari total 2.370 yang terdaftar tidak lagi aktif hingga pertengahan tahun 2025. Mereka tersebar di tiga pasar utama: Parigi, Pananjung, dan Kalipucang.
Kini, hanya tersisa 825 pedagang yang masih bertahan—meski sebagian mulai goyah.
Kalah Oleh Praktisnya “Klik dan Kirim”
Kepala Diskop UMKM Perindag, Tedi Garnida, menyebut bahwa perubahan perilaku belanja masyarakat menjadi faktor utama di balik lesunya pasar tradisional.
“Konsumen sekarang lebih suka belanja online. Cukup pakai aplikasi, barang datang. Praktis dan tanpa ribet,” kata Tedi seperti dikutip dari radartasik.id
Digitalisasi dan platform e-commerce kini bukan hanya bersaing dengan pasar, tapi menggantikan banyak fungsi yang dulu jadi keunggulan pasar: negosiasi harga, kedekatan emosional penjual-pembeli, dan kecepatan transaksi harian.
Tak hanya itu, kenaikan harga bahan pokok serta melemahnya daya beli memperparah kondisi. Banyak pedagang tak sanggup melanjutkan usaha karena biaya tetap—seperti sewa kios dan kebutuhan rumah tangga—tak sebanding dengan pemasukan yang menurun drastis.
Dari Tulang Punggung ke Ancaman Tenggelam
Pasar tradisional pernah menjadi tulang punggung ekonomi lokal di Pangandaran. Bukan hanya sebagai tempat jual-beli, tapi juga ruang sosial dan simbol keberlangsungan budaya dagang masyarakat.
Namun dalam satu tahun terakhir, menurut Diskop, aktivitas pasar turun hingga 30 persen. Banyak lapak tutup, los kosong, dan PKL berganti profesi.
“Sudah enam bulan ini saya merugi terus. Dagangan kadang tidak habis, padahal modal jalan terus. Belum bayar sewa, belum kebutuhan rumah. Berat,” keluh Pak Asep, pedagang bumbu dapur di Pasar Kalipucang.
Adaptasi Jadi Harga Mati
Diskop UMKM Perindag kini mendorong para pedagang untuk beradaptasi dengan ekosistem digital—mulai dari pelatihan dagang daring, pemasaran lewat media sosial, hingga kolaborasi dengan platform lokal.
Namun, tantangannya tak mudah. Sebagian besar pedagang pasar masih gaptek (gagap teknologi), dan perlu pendampingan intensif agar bisa bertahan di tengah perubahan zaman.
“Kalau tidak ikut berubah, pasar tradisional bisa benar-benar jadi tinggal cerita,” ujar Tedi.
Harapan Masih Ada, Tapi Waktu Tak Menunggu
Di tengah lorong pasar yang mulai sunyi, harapan masih menyala—meski kecil. Sejumlah pedagang muda mulai mencoba memasarkan dagangan via WhatsApp dan Instagram. Beberapa ibu-ibu membuat paket sayur online untuk pengiriman dalam kota.
Langkah kecil, tapi penting.
Karena pasar bukan sekadar tempat jual-beli. Ia adalah nadi sosial ekonomi yang menyatukan manusia, cerita, dan harapan. Namun nadi itu kini berdenyut lemah—dan perlu diselamatkan sebelum benar-benar berhenti.***




















