Jakarta, Mevin.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali membuka lembaran gelap tata kelola anggaran negara. Dalam Survei Penilaian Integritas 2024, lembaga antirasuah ini menemukan fakta mencolok: 57 persen responden internal mengaku anggaran negara kerap diselewengkan untuk kepentingan pribadi.
Dari 390.754 responden yang berasal dari kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, pola penyimpangan terlihat jelas. Bukan hanya soal “uang bocor”, tetapi tentang budaya birokrasi yang memandang anggaran sebagai ruang negosiasi kepentingan.
“Integritas bukan hanya soal kebijakan, tapi juga perilaku sehari-hari di tempat kerja. Hasil SPI menjadi cermin integritas lembaga,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo (12/10/2025).
Honor Fiktif, Gratifikasi, dan Perjalanan Dinas yang Tak Pernah Terjadi
Hampir separuh responden menyebut laporan perjalanan dinas tidak sesuai kenyataan. Sebanyak 56 persen mengakui adanya pemberian honor atau uang perjalanan dinas yang tidak relevan dengan kondisi lapangan.
Sementara 43 persen responden mengaku mengetahui praktik gratifikasi — bentuk “pelicin” untuk promosi atau mutasi jabatan. Dalam bahasa sederhana: jabatan bisa dibeli.
Dalam lanskap seperti ini, anggaran negara bukan lagi sekadar alat pembangunan. Ia menjadi alat tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan pribadi.
Korupsi yang Tak Selalu Bernama “Kasus”
Temuan ini bukan sekadar angka. Ia adalah potret sistemik tentang bagaimana kebocoran dimulai dari kebiasaan kecil yang dianggap wajar: perjalanan dinas fiktif, honor berlebih, gratifikasi yang dibungkus “tanda terima kasih”.
Korupsi di negeri ini sering kali tak langsung tampak seperti kejahatan besar. Ia tumbuh dari kompromi kecil yang terus dibiarkan — dari ruang rapat, tanda tangan, hingga meja pengajuan anggaran.
Peringatan Dini, Bukan Sekadar Laporan
KPK menyebut hasil survei ini sebagai “peringatan dini”. Tapi dalam pengalaman publik, peringatan sering berakhir jadi sekadar arsip.
“Catatan SPI harus dipandang sebagai peringatan dini, sehingga dapat melahirkan evaluasi perbaikan yang konkret dan solutif,” lanjut Budi.
Tantangannya jelas: apakah pemerintah hanya akan mengutip hasil survei ini di podium, atau benar-benar membedah luka di tubuh birokrasi sendiri?
Korupsi Sistemik = Krisis Moral
Korupsi bukan sekadar soal hukum, melainkan krisis moral kolektif. Ketika perilaku menyimpang dianggap normal, maka aturan sekuat apa pun akan kehilangan daya gigit.
Masyarakat juga diajak berpartisipasi dalam survei SPI 2025 yang kini tengah berlangsung. Tapi partisipasi publik saja tak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan keteladanan dari dalam sistem.
Karena pada akhirnya, uang publik adalah darah kehidupan bangsa. Dan jika darah itu terus diteteskan ke kantong pribadi, maka tubuh negara akan terus lemah — meski retorika “pemberantasan korupsi” terdengar nyaring.
Korupsi tak lahir dalam sehari. Ia tumbuh dari kompromi yang dibiarkan bertahun-tahun. Survei ini bukan sekadar data, melainkan cermin retak yang menuntut keberanian kita semua — bukan hanya KPK, tapi juga masyarakat — untuk melihatnya dengan jujur.***





















