“Kita sering menunda bukan karena terlalu banyak yang harus dilakukan. Tapi karena kita takut hasilnya tidak akan sebaik harapan kita.”
Pernahkah kamu duduk berjam-jam, membuka laptop, membuka catatan, tetapi tidak mengetik satu kata pun? Atau menunda memulai usaha, memulai pembicaraan, mendaftar beasiswa—bukan karena kamu tak mampu, tapi karena ada suara kecil di kepala yang berkata, “Bagaimana kalau aku gagal?”
Takut gagal adalah musuh diam-diam yang menyamar jadi banyak hal. Kita menyebutnya perfeksionisme. Kita menyebutnya belum siap. Kita menyebutnya “menunggu momen yang tepat”. Tapi sering kali, di balik semua itu, hanya ada satu penyebab: ketakutan akan gagal.
Dan celakanya, ketakutan ini terasa logis. Ia pintar berdalih. Ia pandai bersilat kata. Ia berbisik, “Lebih baik tidak mencoba daripada mencoba dan gagal di depan orang-orang.”
Kita Tidak Takut Gagal. Kita Takut Dilihat Gagal.
Kegagalan tidak seburuk yang kita bayangkan. Yang lebih menyakitkan adalah bayangan reaksi orang lain atas kegagalan kita. Kita membayangkan tatapan mereka, komentar mereka, cibiran mereka—dan itu cukup untuk membuat kita mundur bahkan sebelum mulai.
Padahal, seperti kata Epictetus:
“Jika kamu ingin maju, bersiaplah untuk dicemooh sebagai orang bodoh.”
Kebanyakan orang tidak benar-benar peduli kita gagal atau tidak. Dunia terlalu sibuk dengan kegagalan mereka sendiri. Tapi ketakutan kita membuat panggung di kepala, dengan penonton yang kita ciptakan sendiri.
Apa yang Sebenarnya Kita Pertaruhkan?
Kegagalan sering terasa seperti kiamat pribadi. Padahal, jika dipikirkan kembali, apa yang sebenarnya hilang saat kita gagal? Sedikit uang? Sedikit waktu? Sedikit harga diri?
Marcus Aurelius menulis, “Jika itu bukan kebajikan atau kejahatan, maka itu bukan urusanmu.”
Gagal bukan dosa. Gagal bukan kejahatan moral. Ia hanya bagian dari permainan hidup. Anak kecil belajar jalan dengan cara jatuh. Pengusaha belajar bertahan dengan cara bangkrut. Penulis hebat belajar menulis dengan cara ditolak.
Ketakutan kita terhadap kegagalan sering tak sebanding dengan kerugiannya yang nyata.
Berpikir Lebih Buruk Justru Menenangkan
Stoikisme mengenal konsep premeditatio malorum—membayangkan kemungkinan terburuk, bukan untuk takut, tapi untuk membebaskan diri dari rasa takut.
Seneca menulis:
“Dia yang telah memikirkan semua yang bisa terjadi akan menanggung apa pun yang terjadi.”
Jika kamu takut gagal dalam wawancara kerja, bayangkan: skenario terburuknya adalah kamu tidak lolos. Lalu apa? Kamu masih hidup. Masih bisa belajar. Masih bisa coba lagi.
Kebebasan terbesar bukan saat kita tidak mungkin gagal, tapi saat kita tidak takut gagal.
Berani Melangkah Meskipun Tidak Siap
Banyak dari kita menunggu keyakinan datang dulu, baru melangkah. Tapi Stoikisme mengajarkan bahwa keberanian bukan datang setelah percaya diri—keberanian datang di tengah rasa tidak yakin.
Aksi mendahului kejelasan. Kamu tidak perlu yakin 100% dulu untuk mulai menulis. Kamu tidak harus bebas dari keraguan untuk mulai bicara. Kamu hanya perlu satu langkah kecil.
“Lakukan saja hal yang ada di depanmu, sebaik mungkin, tanpa gangguan. Itulah jalan menuju kedamaian.” — Marcus Aurelius
Gagal Itu Netral. Penilaian Kita yang Tidak.
Kegagalan tidak memalukan. Tidak berbahaya. Tidak mematikan. Tapi cara kita menilai kegagalanlah yang membuatnya begitu menakutkan.
Saat kita berhenti melihat kegagalan sebagai “bukti bahwa aku tidak cukup”, dan mulai melihatnya sebagai “bukti bahwa aku cukup berani mencoba”, saat itulah kita bebas.
Karena yang lebih buruk dari gagal… adalah tidak pernah mencoba sama sekali.***




















