MALAM ITU, seekor kucing di pelataran masjid terlihat menyeret sisa nasi dan ikan dari kotak bekas sedekah makanan. Tapi yang menarik, ia tidak memakannya sendiri.
Ia membawanya ke semak-semak, lalu muncul lagi bersama dua anaknya yang masih kecil. Mereka makan bersama, tanpa rebutan, tanpa suara. Saling menunggu. Saling jaga.
Pemandangan sederhana itu membuat Zainal Abidin terdiam. Ia menatap kucing itu, lalu menunduk, terpikir sesuatu:
“Kenapa kucing bisa berbagi, sementara manusia sering serakah?”
Renungan itu lalu mengalir ke pertanyaan-pertanyaan lain. Kenapa lebah bisa kompak membangun sarang, sedangkan manusia saling menjatuhkan?
Kenapa harimau bisa menjaga wilayah dan martabatnya, sementara manusia dengan mudah menjual harga dirinya demi kekuasaan, pujian, atau uang?
Jawabannya ternyata sederhana tapi dalam: karena binatang hidup dengan naluri, manusia hidup dengan pilihan.
Manusia: Makhluk Tiga Dimensi
Menurut Zainal, manusia diciptakan dengan tiga lapisan penopang: naluri, akal, dan agama. Naluri adalah bekal alami, yang juga dimiliki makhluk hidup lain.
Tapi manusia melangkah lebih jauh: Allah memberikan akal, kekuatan berpikir, berinovasi, dan memilih.
Namun justru karena itulah, manusia rentan melampaui batas. Ketika akal lepas dari kendali, ia bisa mengubah manusia menjadi makhluk buas. Mampu membunuh, menipu, menghancurkan, bahkan terhadap sesamanya.
Di sinilah letak pentingnya agama. Agama menjadi dimensi ketiga—penjaga keseimbangan antara naluri dan akal, penuntun agar manusia tetap pada jalur yang lurus, shiraathol mustaqiim.
Rumusan Hidup: Siapa Kita, Tanpa Agama dan Akal?
Zainal merumuskannya begini:
- Manusia tanpa akal dan agama = binatang lemah
- Manusia dengan akal tapi tanpa agama = binatang buas
- Manusia dengan agama tapi tanpa akal = manusia lemah dan mudah tersesat
- Manusia dengan akal dan agama = manusia paripurna
Kita bebas memilih, tapi juga bertanggung jawab atas pilihan itu.
Kembali ke Pelataran Masjid
Kucing itu telah pergi. Anak-anaknya tertidur kenyang. Sementara manusia yang tadi bersedekah sudah pulang, mungkin tak tahu bahwa sedekahnya bukan hanya memberi makan, tapi juga menjadi pelajaran besar bagi mereka yang mau merenung.
Zainal menutup renungannya malam itu dengan satu doa dalam hati:
“Ya Allah, jangan biarkan aku menjadi makhluk yang kalah dari kucing dalam hal kasih sayang, dari lebah dalam hal kebersamaan, atau dari harimau dalam menjaga harga diri. Jangan biarkan akalku menyesatkanku, dan agamaku hanya jadi simbol tanpa makna.”
Ia menarik napas panjang. Hening malam di pelataran masjid masih terasa damai, tapi dalam hatinya ada riak kecil yang menumbuhkan tekad baru.
Bahwa menjadi manusia seutuhnya bukan sekadar soal bisa berpikir atau bisa beribadah—tetapi bagaimana menggunakan akal untuk memahami agama, dan menghidupkan agama dalam setiap akal dan langkah kehidupan.
Pagi akan datang, rutinitas akan dimulai lagi. Tapi malam ini, ia telah menemukan pelajaran besar dari makhluk kecil di bawah kakinya. Dari kucing jalanan yang tak punya sekolah, tak punya kitab suci, tapi tetap tahu cara berbagi.
Dan mungkin, dari situlah seharusnya manusia belajar kembali: bahwa hidup bukan soal siapa yang paling cerdas, tapi siapa yang paling selaras dengan fitrahnya.
Karena pada akhirnya, bukan jabatan atau gelar yang membuat manusia mulia. Tapi pilihannya—untuk menjadi manusia sepenuhnya.***
Jum’at Berkah – DR. KH. Zainal Abidin, M.Ag
Penulis : Zainal Abidin
Editor : Dedi Barnadi





















