Purworejo, Mevin.ID — Ketika sebagian pelajar tengah sibuk mengerjakan ujian tengah semester, H (16) hanya duduk diam di ruang perpustakaan. Bukan karena ia sakit atau membolos, melainkan karena keluarganya tidak mampu melunasi tunggakan biaya sekolah sebesar Rp 4,5 juta.
“Kurang Rp 100.000 saja, anak saya tidak boleh ikut ujian,” kata ibunya, Tri Wahyuni (55), dengan suara bergetar. Ia datang ke Kantor Balai Wartawan Purworejo, Jumat (17/10/2025), berharap ada jalan keluar bagi anaknya — seorang siswa berprestasi yang selalu peringkat pertama sejak kelas X.
Kebijakan keras itu datang dari pihak SMK Pembaharuan Purworejo. Dalam surat edaran tertanggal 16 Oktober 2025, sekolah menegaskan hanya siswa yang sudah melunasi biaya pendidikan yang boleh mengikuti Asesmen Sumatif Tengah Semester (ASTS). Yang tidak melunasi dianggap “mengundurkan diri” secara otomatis.
Keringanan Tak Ada, Pinjaman Jadi Solusi
Tri mengaku sudah memohon agar pembayaran bisa dicicil. Namun pihak sekolah menolak dan justru menyarankan mencari pinjaman. “Saya sudah minta kebijakan supaya bisa diangsur, tapi sekolah tidak mengizinkan,” keluhnya.
H, yang semula bertekad tetap datang ke sekolah, akhirnya memilih diam di rumah. “Malu, terus mau ngapain ke sekolah,” katanya lirih.
Sekolah Akui, Yayasan Sebut “Arahan Keuangan”
Kepala sekolah, Sugiri, mengakui kebijakan itu merupakan arahan dari yayasan karena alasan keuangan.
“Siswa yang belum bayar memang tidak boleh mengikuti penilaian tengah semester. Kalau belum bisa, pihak yayasan meminta anak tersebut diistirahatkan sementara,” ujarnya.
Pengurus yayasan, Marjuki, mengatakan pihaknya telah memberi keringanan dengan sistem pembayaran bulanan Rp 200.000. Namun untuk ikut ujian, pelunasan tetap diwajibkan.
Pemerintah Daerah Turun Tangan
Kasus ini memicu kritik tajam. Pengawas MKKS SMK Purworejo, Bani Mustofa, menyayangkan sikap sekolah yang dinilai ekstrem.
“Kalau anak-anak dikeluarkan, mereka jadi ATS (anak tidak sekolah). Ini justru jadi tanggung jawab negara untuk mengatasinya,” ujarnya.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Jawa Tengah, Maryanto, menegaskan kebijakan tersebut tidak dapat dibenarkan. “Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Tidak boleh ada alasan anak tidak bisa belajar hanya karena belum lunas biaya sekolah,” tegasnya.
Pihaknya akan melakukan penelusuran dan menindaklanjuti kasus ini.
Ketika Dunia Pendidikan Menjadi Pintu yang Terkunci
Ironisnya, H bukan satu-satunya siswa dari keluarga tidak mampu di sekolah tersebut. Sebagian besar siswa datang dari keluarga pekerja informal yang penghasilannya tak menentu.
Ketika biaya pendidikan menjadi syarat ikut ujian, pintu sekolah perlahan berubah menjadi pagar tinggi yang sulit dijangkau.
Sementara itu, publik mempertanyakan transparansi pengelolaan dana sekolah, termasuk dana bantuan dari pemerintah.
“Yang kesulitan bukan cuma orang tua murid. Tapi kenapa anak-anak yang dikorbankan?” ujar seorang warga yang ikut memantau kasus ini.
Di tengah hiruk-pikuk ujian, suara lirih siswa seperti H menjadi pengingat bahwa akses pendidikan bukan sekadar soal angka, tapi juga keberpihakan.***




















