NICE, Prancis – Mevin.ID – Lebih dari 70 negara diperkirakan akan menyerukan penetapan target global pengurangan produksi dan konsumsi plastik dalam Konferensi Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Ocean Conference/UNOC) yang digelar di Kota Nice, Prancis, mulai Senin (10/6/2025) hingga Jumat mendatang.
Inisiatif ini menyoroti urgensi dalam menangani krisis polusi plastik laut yang kian parah. Diperkirakan lebih dari 8 juta ton plastik mengalir ke lautan setiap tahun, merusak ekosistem laut dan mengancam kesehatan manusia melalui mikroplastik yang masuk ke rantai makanan.
Namun, seruan bersama ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Jepang termasuk di antara negara yang menolak mendukung pernyataan tersebut, bergabung dengan beberapa negara penghasil minyak di Timur Tengah yang keberatan terhadap usulan pembatasan produksi plastik—produk turunan utama dari minyak bumi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menuju Traktat Plastik Global
Pernyataan bersama yang dirancang oleh koalisi negara-negara Eropa dan kepulauan Pasifik itu akan mencakup target pengurangan, serta kewajiban pelaporan volume produksi, impor, dan ekspor plastik.
Dokumen tersebut digadang-gadang sebagai langkah penting menjelang perundingan traktat plastik global yang akan dilanjutkan di Swiss pada Agustus mendatang. Traktat ini ditargetkan menjadi perjanjian multilateral pertama yang mengatur secara komprehensif produksi hingga siklus akhir plastik.
Namun, dalam pembicaraan sebelumnya yang berlangsung di Korea Selatan akhir tahun lalu, negosiasi masih menemui jalan buntu, terutama terkait soal regulasi produksi. Perbedaan posisi antara negara-negara maju, negara produsen plastik, dan negara berkembang menjadi batu sandungan utama.
Prancis: Ini Kesempatan Bersejarah
Prancis, sebagai salah satu inisiator utama, menyebut deklarasi tersebut sebagai sebuah “kesempatan bersejarah” untuk memperkuat komitmen global terhadap penyelamatan laut.
“Langkah ini tidak hanya soal limbah plastik di laut, tapi juga menyasar akar masalah: produksi plastik yang berlebihan,” ujar perwakilan Kementerian Lingkungan Prancis.
Di sisi lain, Jepang menolak mencantumkan namanya dalam dokumen final, dengan alasan ingin menjaga proses negosiasi tetap inklusif dan menghindari pembelahan posisi antarnegara.
Sikap Jepang ini langsung menuai kritik dari kelompok lingkungan. Koalisi aktivis dari Asia dan Eropa mendesak pemerintah Jepang untuk mengambil sikap lebih tegas dan progresif dalam mendukung langkah global mengurangi ketergantungan terhadap plastik.
“Netralitas bukan solusi dalam krisis ekologi. Saat negara lain melangkah, Jepang tidak bisa terus berdiri di tengah,” ujar seorang aktivis dari Greenpeace Jepang.***