Jakarta, Mevin.ID – Saat lonceng libur sekolah berbunyi, satu pertanyaan penting pun muncul: bagaimana nasib program Makan Bergizi Gratis (MBG)? Apakah tetap jalan, atau ikut libur?
Menjawab hal ini, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyampaikan bahwa pelaksanaan MBG selama masa liburan sekolah akan sangat bergantung pada kesiapan siswa dan guru untuk datang ke sekolah.
“Untuk sekolah, Kepala SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) akan mengecek langsung ke kepala sekolah. Apakah siswa dan guru bersedia datang? Kalau ya, berapa kali dalam seminggu?” jelas Dadan, dikutip dari Antaranews, Jumat (20/6/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mau Datang, Dapat Makanan Segar
Bagi sekolah yang siswa dan gurunya siap hadir meski sedang libur, MBG tetap akan berjalan seperti biasa. Dadan menyebut, makanan yang disediakan tetap dalam bentuk fresh food, seperti telur, buah, atau susu—bahkan bisa dibekali untuk konsumsi satu hingga dua hari ke depan.
Namun jika mayoritas tidak bisa hadir, sekolah tersebut tak akan menerima penyaluran MBG selama liburan. Alih-alih, program akan dialihkan untuk kelompok rentan seperti ibu hamil, menyusui, dan balita, agar manfaatnya tetap berkelanjutan.
“Kalau tidak bersedia datang, MBG tidak dilakukan untuk anak sekolah. Tapi gizi tetap harus tersalurkan, jadi akan kami fokuskan ke kelompok rentan,” tegas Dadan.
Tak Ada Pemaksaan, Tapi Juga Tak Asal Jalan
Menanggapi isu yang menyebut BGN memaksakan pembagian MBG hanya demi menyerap anggaran, Dadan menampik dengan tegas.
“Kami pastikan setiap kebijakan tetap berlandaskan prinsip pemerataan gizi, efektivitas penyaluran, dan keberlanjutan manfaat. Tidak ada keputusan sepihak,” katanya.
Dadan juga menekankan bahwa seluruh kebijakan MBG, termasuk saat libur sekolah, diputuskan secara terukur dan kolektif bersama 1.816 Kepala SPPG dari seluruh Indonesia, dalam rapat koordinasi nasional yang digelar Jumat siang ini.
Keputusan menyesuaikan skema MBG saat liburan mungkin terdengar teknis, tapi sebenarnya ini adalah refleksi dari pendekatan baru birokrasi: mendengar suara di lapangan.
Di satu sisi, masyarakat berharap MBG bisa jadi jaring pengaman gizi jangka panjang, bukan sekadar program seremonial. Tapi di sisi lain, pelaksana program pun perlu ruang untuk menyesuaikan ritme, terutama ketika sekolah libur dan kehadiran tidak bisa dipaksakan.
Akhirnya, program seperti MBG bukan hanya soal makan siang gratis. Ia adalah cermin bagaimana negara hadir—atau absen—dalam hal yang paling mendasar: memberi makan anak-anaknya dengan layak.***