Jakarta, Mevin.ID – Era digital membawa kemudahan, tapi juga luka baru bagi konsumen. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkap bahwa sepanjang 2022 hingga Maret 2025, terdapat 20.942 pengaduan konsumen, dengan 92% di antaranya berasal dari e-commerce.
Artinya, lebih dari 19.000 konsumen mengalami kerugian dari transaksi daring—baik karena penipuan, barang palsu, hingga kebocoran data pribadi.
“Fenomena e-commerce yang makin marak ini juga membawa berbagai jenis penipuan baru. Barang ilegal dan palsu beredar masif. Konsumen pun semakin rentan,” ujar Dirjen PKTN Kemendag, Moga Simatupang, dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (24/4).
Mekanisme Ada, Tapi Mandul
Moga mengakui, mekanisme penyelesaian sengketa konsumen saat ini belum efektif. Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) masih bisa dimentahkan di pengadilan negeri, membuat proses panjang dan melelahkan bagi konsumen.
“Kita punya mekanisme, tapi belum maksimal. Konsumen kesulitan mengakses penyelesaian sengketa karena masih dilayani per sektor,” ungkapnya.
Belum lagi, saluran pengaduan yang tidak terintegrasi dan akses terbatas membuat banyak konsumen memilih diam ketimbang memperjuangkan haknya.
RUU Perlindungan Konsumen Baru Mendesak
UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yang sudah berusia lebih dari seperempat abad dinilai tak lagi relevan di tengah digitalisasi ekonomi. Kemendag kini mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (RUUPK) yang lebih adaptif terhadap pola transaksi digital.
“Banyak persoalan konsumen yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Undang-undang lama sudah tidak relevan,” kata Moga.
Konsumen Mulai Kritis, Tapi Masih Takut Mengadu
Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) 2024 menunjukkan skor 60,11, naik dari 57,04 pada 2023. Ini berarti masyarakat mulai berani bersuara. Namun, angka itu masih jauh dari cukup.
“Konsumen masih takut atau malas mengadu. Ini soal edukasi yang harus terus kita dorong,” jelas Moga.
Negara Diminta Hadir Sebagai Pelindung, Bukan Penonton
Kemendag menegaskan, negara tak boleh sekadar jadi wasit pasif di tengah lalu lintas e-commerce yang makin brutal. Dibutuhkan regulasi yang berpihak, penegakan hukum yang tegas, serta ekosistem digital yang adil dan transparan.
E-commerce bukan cuma soal transaksi cepat, tapi soal siapa yang akan bertanggung jawab saat konsumen menjadi korban. Dan sejauh ini, jawabannya masih menggantung.***





















