Macan yang Tak Mengaum, Rakyat yang Tak Didengar

- Redaksi

Selasa, 5 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI PAGI yang mendung itu, Pak Darno, 58 tahun, masih mengayuh sepedanya menyusuri jalanan Jakarta Timur. Di keranjang sepeda tuanya, ada segenggam sayuran, segelas bensin eceran, dan segumpal keresahan.

“Dulu katanya korupsi itu musuh utama bangsa. Tapi sekarang, maling uang negara bisa minta maaf, terus dimaafkan.

Sementara saya, pernah telat bayar listrik, langsung diputus.” Ucapnya dengan mata yang lebih lelah dari tubuhnya.

Pak Darno bukan pakar hukum. Tapi ia tahu rasa tidak adil.

Ia masih ingat saat Presiden Jokowi mengajukan RUU Perampasan Aset, sebagai langkah nyata memberantas korupsi. DPR diam. Pembahasan tertunda. Ruang rapat sepi.

Kini, di era Presiden Prabowo—yang katanya “Macan Asia”, yang latar belakang militernya digadang-gadang bakal menumpas korupsi tanpa kompromi—justru malah mengajukan amnesti dan abolisi untuk para koruptor. DPR? Sekarang sigap, menyetujui dalam hitungan hari.

Bagi rakyat kecil seperti Pak Darno, itu bukan rekonsiliasi. Itu pengkhianatan.

Bendera Bajak Laut dan Lidah Rakyat

Di sisi lain kota, sekelompok anak muda mengibarkan bendera Jolly Roger, lambang bajak laut dari anime One Piece, di bawah bendera merah putih. Mereka bukan sekadar fans kartun. Mereka sedang menyampaikan rasa frustasi dengan cara yang mereka tahu.

“Ini hanyalah bentuk protes kami dari berbagai kebijakan negara yang membuat rakyat sakit hati. Merah Putih akan kami kibarkan karena kebanggan kami, namun bendera “one piece” adalah simbol protes kami,” kata Raka, 22 tahun, seorang sarjana yang belum bekerja sejak lulus.

Apa respons elit? Provokasi, kata mereka. Makar. Ancaman. Mereka lupa, bahwa di dalam kepala rakyat tak ada rencana makar.

Yang ada hanya kegelisahan panjang, karena negara yang dulu dijanjikan tegas kini malah memberi pengampunan pada pencuri uang negara.

Ketika Keadilan Jadi Barang Mewah

Di negeri ini, seorang petani bisa dipenjara karena mencuri buah sawit di tanah yang dulunya miliknya sendiri. Seorang ibu bisa diinterogasi karena menjual jamu tanpa izin.

Tapi koruptor—yang telah merugikan rakyat —bisa pulang dengan status “dimaafkan”, demi stabilitas nasional.

Stabilitas untuk siapa?

Rekonsiliasi yang membuat rakyat makin miskin bukan rekonsiliasi. Itu restorasi kekuasaan para elite, dengan rakyat sebagai penontonnya.

Ambalat: Ketegasan yang Tak Pernah Tiba

Dan ketika rakyat berharap sang presiden baru tampil tegas di panggung internasional, fakta berkata lain.

Ambalat, wilayah laut kaya sumber daya di perbatasan Indonesia-Malaysia, kembali jadi sengketa. Tapi tak terdengar auman.

Jokowi—si sipil—si planga plongo – yang katanya Ijazahnya Palsu pernah dengan lantang kirim armada dan diplomasi keras. Kini, sang jenderal diam seribu bahasa.

Alih-alih ketegasan, kita menyaksikan gestur kompromi. Padahal Ambalat bukan cuma urusan geopolitik. Ia adalah simbol harga diri. Simbol batas yang semestinya tidak bisa dinego.

Dan rakyat tahu: jika laut pun tak bisa dibela, apalagi hak rakyat kecil.

Macan Asia, Kini Hanya Poster Dinding

Ketika Prabowo menang, banyak rakyat percaya: ini pemimpin tegas. “Akhirnya ada tentara yang memihak rakyat,” kata seorang tukang bangunan di warung kopi. Tapi seiring waktu, keragu-raguan menggantikan harapan.

Harga pangan naik, rekening diblokir kalau tiga bulan tak aktif, UMKM ditarik pajak padahal masih megap-megap. Di luar negeri, Prabowo mengaum sebagai “Macan Asia”, tapi di dalam negeri, rakyat kecil justru merasa digigit perlahan oleh kebijakan yang tak berpihak.

Kami Bukan Bajak Laut, Kami Rakyat yang Terluka

Kami tak punya kapal perang. Tak bisa menyusun UU. Kami tak duduk di kursi empuk sidang paripurna. Kami hanya menabung rupiah demi rupiah agar anak bisa tetap sekolah.

Kami hanya ingin negara yang melindungi kami, bukan mengampuni mereka yang mencuri dari kami.

Jika harapan kami diartikan sebagai provokasi, maka mungkin memang negeri ini sedang lupa: bahwa demokrasi lahir dari suara mereka yang bersuara—bukan dari yang bersalaman di belakang meja.

Kami hanya ingin adil. Kami tak minta istana. Hanya agar hukum tak meludah ke bawah dan tersenyum ke atas.***

Facebook Comments Box

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

COP 30 dan Desa: Antara Komitmen Global dan Realitas di Tapak
Jeritan yang Tak Didengar: Membaca Ulang Tragedi SMAN 72
Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya
Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates
Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai
Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital
Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex
Ketersendirian Pahlawan dan Mandat untuk Menang: Filosofi Eksistensialisme dalam Perjuangan Pribadi

Berita Terkait

Jumat, 14 November 2025 - 15:50 WIB

COP 30 dan Desa: Antara Komitmen Global dan Realitas di Tapak

Jumat, 14 November 2025 - 15:36 WIB

Jeritan yang Tak Didengar: Membaca Ulang Tragedi SMAN 72

Jumat, 14 November 2025 - 11:59 WIB

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Jumat, 14 November 2025 - 09:25 WIB

Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates

Jumat, 14 November 2025 - 08:02 WIB

Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai

Berita Terbaru