TEPAT pukul 12 siang, suara bel sekolah menggema di SD Negeri Bojongmalaka, Bandung. Namun alih-alih berhamburan keluar gerbang seperti biasanya, para siswa justru berbaris rapi menuju aula belakang.
Di sana, meja-meja panjang telah disiapkan. Piring-piring berisi nasi, sayur bening, ayam goreng, dan potongan semangka tersaji rapi, menanti untuk disantap bersama.
“Ini saat yang paling ditunggu anak-anak,” ujar Bu Nia, guru kelas 5 yang ikut mendampingi mereka. “Makan bersama, duduk sejajar, dan yang terpenting—mereka menyantap makanan bergizi yang mungkin tidak selalu tersedia di rumah.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah pusat telah membawa perubahan nyata bagi sekolah-sekolah yang menerimanya. Tak hanya membantu anak-anak dari keluarga prasejahtera memenuhi kebutuhan nutrisi, tetapi juga membentuk lingkungan belajar yang lebih sehat, ceria, dan penuh rasa kebersamaan.
Lebih dari itu, suasana makan bersama ini mempererat hubungan antarsiswa, menumbuhkan empati, dan secara alami mengikis potensi bullying yang selama ini dikhawatirkan merusak kesehatan mental anak-anak.
Gizi yang Meningkat, Kualitas Anak yang Terangkat
Asupan gizi seimbang yang kini rutin diterima mulai menunjukkan hasil. Para guru melihat peningkatan konsentrasi belajar, energi yang stabil, serta semangat yang lebih tinggi. Bahkan pada jam pelajaran terakhir—yang biasanya menjadi ujian kesabaran—siswa tetap fokus dan aktif.
“Ayah saya bilang sekarang saya lebih kuat belajar malam. Dulu suka ngantuk,” cerita Rafi (10), siswa kelas 4 yang selalu hadir saat makan siang bersama.
Program MBG dirancang bukan sekadar pemenuhan kebutuhan perut. Ia adalah pondasi untuk membangun generasi sehat dan cerdas—anak-anak Indonesia yang siap bersaing dalam dunia yang makin kompleks.
Visi besar ini tak bisa ditunda. Ia harus dimulai dari level paling dasar—PAUD, SD, SMP, hingga SMA. Karena di sanalah masa depan bangsa sedang tumbuh dan dibentuk, suap demi suap.
Sekolah yang Belum Kebagian, Jangan Diam
Namun kenyataannya, belum semua sekolah menikmati program ini. Di berbagai pelosok, ratusan sekolah masih menanti giliran. Di sinilah pentingnya peran aktif dari pihak sekolah dan dinas pendidikan daerah untuk mengambil inisiatif.
“Kami sudah melihat dampaknya sangat besar. Jadi kami dorong sekolah-sekolah lain mulai menyusun proposal, menghubungi SPPG setempat, agar anak-anak di sekolah mereka juga bisa merasakan manfaatnya,” kata Ary Santoso, Staf Khusus Kepala Badan Gizi Nasional (BGN).
Program ini bukan hadiah. Ia adalah peluang yang bisa dan harus diperjuangkan, terutama oleh sekolah-sekolah yang melihat sendiri bagaimana anak-anaknya butuh perhatian lebih dalam hal gizi.
Makan Siang adalah Hak, Bukan Bonus
Lebih dari sekadar proyek anggaran, makan bergizi gratis adalah hak dasar setiap anak untuk hidup sehat dan tumbuh optimal. Anak-anak tak bisa memilih di mana mereka dilahirkan, tetapi sistem dapat menjamin mereka mendapat kesempatan yang sama.
“Ada semangat gotong royong di setiap sendok yang mereka suapkan. Karena saat anak-anak makan bersama, mereka belajar tentang nilai sosial yang tak bisa diajarkan lewat buku,” tambah Bu Nia.
Hari itu, seperti hari-hari lainnya, tawa anak-anak menggema di aula makan. Piring-piring kosong yang segera terisi kembali bukan hanya memuaskan perut kecil mereka, tetapi juga mengisi hati kita dengan harapan besar: bahwa masa depan Indonesia sedang dibangun—dari satu piring sederhana yang penuh makna.
***
Program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar agenda pemerintah—ia adalah investasi jangka panjang dalam membangun generasi Indonesia yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih cerdas.
Asupan gizi yang baik terbukti meningkatkan semangat belajar, kesehatan fisik, dan kebersamaan antarsiswa.
Maka sudah saatnya sekolah-sekolah yang belum tersentuh program ini mengambil langkah aktif, agar setiap anak Indonesia, tanpa kecuali, mendapat hak yang sama untuk tumbuh optimal dan meraih masa depan yang lebih baik.
Panca Saktiadi, Pemerhati Sosial, tinggal di Bandung