MALAM ini bukan malam biasa. Angin terasa lebih dingin, waktu seperti melambat, dan langit tak banyak berkata-kata.
Bagi sebagian orang, ini hanyalah Kamis malam yang kebetulan jatuh pada akhir bulan. Tapi bagi mereka yang masih memelihara kearifan Jawa, malam ini adalah pertemuan sakral: malam 1 Suro, yang bertepatan dengan malam Jumat Kliwon.
Di masa lalu, malam ini dirayakan bukan dengan hingar-bingar, tetapi dengan hening. Bukan dengan pesta kembang api, tetapi dengan doa dan perenungan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Satu Suro adalah penanda tahun baru dalam penanggalan Jawa-Islam, sementara Jumat Kliwon dianggap sebagai malam “paling halus”, saat dimensi spiritual terbuka lebih lebar, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengingatkan kita bahwa hidup tak cuma sebatas yang terlihat.
Di banyak desa di Jawa, malam seperti ini masih dihormati. Orang-orang melakukan tirakatan—menyalakan lilin, membaca doa, menepi dari keramaian, menyepi dari gadget, bahkan berpuasa esok harinya.
Tak sedikit yang membawa air ke punden atau sendang, berdoa di makam leluhur, atau sekadar duduk diam di halaman rumah. Mereka tahu, tidak semua yang penting harus ramai. Banyak yang sakral justru datang dalam diam.
Sayangnya, tradisi ini perlahan menghilang. Anak-anak muda lebih mengenal “1 Januari” ketimbang “1 Suro”. Yang dulu jadi malam kontemplasi kini tergantikan oleh konten horor murahan dan meme lelucon tentang ‘kuntilanak keluar malam ini’. Kita lupa, bahwa leluhur kita bukan sedang menakut-nakuti, tapi sedang mengajarkan.
1 Suro dan Jumat Kliwon adalah pelajaran budaya yang dibungkus kesunyian. Ia mengajak kita merenung: apakah hidup ini sudah selaras dengan nilai-nilai yang diwariskan?
Apakah kita masih tahu bagaimana caranya berhenti sejenak dan melihat ke dalam?
Atau justru kita tenggelam dalam kecepatan zaman dan lupa bahwa ada jiwa yang harus dijaga?
Saya teringat kisah seorang teman yang memilih puasa mutih dan menepi di malam 1 Suro. Bukan karena ingin menjadi “mistis”, tapi karena ia merasa hidupnya kehilangan arah.
“Aku cuma pengin dengar diriku sendiri, setelah sekian lama cuma dengerin dunia,” katanya.
Dan saya rasa, itu inti dari semua ini: malam 1 Suro bukan tentang ketakutan, tapi tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Di era di mana kita bangga multitasking dan fast life, malam seperti ini mengajak kita untuk monotasking—mendengarkan detak jantung sendiri, menyapa bayang-bayang masa lalu, dan bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan memulai lagi.
Seperti kata pepatah Jawa, sepi ing pamrih, rame ing gawe—diam dari ambisi pribadi, sibuk dalam kebaikan.
Mungkin kita tak bisa lagi mengulang tradisi seperti dulu. Tapi kita masih bisa memaknainya. Karena sejatinya, budaya tidak mati—hanya kehilangan ruang di hati kita yang terlalu penuh oleh dunia.
Jadi malam ini, sebelum tidur, matikan ponsel sebentar. Duduklah diam. Ucapkan doa. Ingat orang tua. Lihat ke dalam. Barangkali, justru di saat paling sepi, suara Tuhan terdengar paling jelas.***