Membongkar Mitos: Etika Membungkuk, Warisan Lama yang Bukan Ajaran Agama

- Redaksi

Rabu, 15 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI TENGAH khasanah keramahtamahan Indonesia, ada satu gestur yang sering dianggap sebagai lambang kesopanan mutlak, terutama di Jawa dan Bali: kebiasaan membungkuk ringan saat menyapa atau melewati orang yang lebih tua.

Selama ini, banyak yang menganggapnya sebagai bagian integral dari adab ketimuran atau bahkan dicampuradukkan dengan norma keagamaan.

Namun, jika kita menelisik akarnya, tradisi ini adalah sebuah warisan budaya pra-Islam yang kaya, bukan ajaran formal dari Islam itu sendiri.

Akar Budaya, Bukan Syariat

Analisis historis menunjukkan bahwa praktik membungkuk hormat, khususnya yang meniru ruku’ atau sujud, berakar kuat pada tradisi Hindu-Buddha.

Di era kerajaan kuno Nusantara, penghormatan kepada kaum Brahmana atau Raja (yang sering diposisikan sebagai representasi dewa yang hidup) diekspresikan melalui gerakan tubuh yang menunduk.

Gestur ini adalah sebuah pengakuan hierarki spiritual dan kekuasaan absolut.

Ketika Islam masuk, ia tidak menghapus total semua tradisi lokal, melainkan mengakulturasikannya. Kebiasaan membungkuk ini kemudian terserap ke dalam etika sosial lokal, bertahan lintas zaman sebagai simbol kerendahan hati dan tata krama, terlepas dari latar belakang agama pelakunya.

Koreksi dari Perspektif Islam

Dari sudut pandang ajaran Islam—seperti yang ditegaskan oleh hadis Nabi Muhammad ﷺ dan pandangan ulama besar seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah—gestur membungkuk hormat kepada sesama manusia adalah sebuah praktik yang dihindari, bahkan dilarang.

Pesan utamanya jelas: tunduk dan bersujud (ruku’ dan sujud) secara fisik adalah ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Tuhan (Allah).

Menarik garis tegas antara penghormatan kepada Sang Pencipta dan penghormatan kepada makhluk.

Ketika seseorang membungkuk secara signifikan kepada manusia lain, hal itu dapat dianggap meniru ritual ibadah yang ditujukan kepada entitas selain Tuhan, sebuah praktik yang dikategorikan Ibnu Qayyim sebagai peniruan budaya jahiliyah (masa kebodohan sebelum Islam) atau meniru penghormatan yang dulu diberikan kepada raja atau dewa.

Nabi Muhammad sendiri menolak segala bentuk pemujaan fisik dari pengikutnya, menekankan kesetaraan horizontal di antara sesama Muslim.

Salam (ucapan) dan jabat tangan sudah dianggap sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang yang memadai dalam Islam, tanpa perlu gestur yang mengarah pada penundukan.

Dikutip dari Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin 5, bila merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA, hukum membungkuk saat memberi salam tersebut adalah haram.

Berikut bunyi hadits yang ditakhrij oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah,

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ الله، أَحَدُنَا يَلْقَى صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لا قَالَ: فَيَلْتَرمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا قَالَ: فَيُصَافِحُهُ قَالَ: نَعَمْ، إِنْ شَاءَ

Artinya: Para sahabat pernah bertanya pada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang dari kamu berjumpa dengan saudaranya, apakah dia boleh menunduk untuknya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Tidak boleh,”

Lelaki itu bertanya lagi, “Memeluknya dan menciumnya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Tidak,”

Kemudian lanjut ditanya lagi, “Menjabat tangannya?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya, jika dia mau.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya)

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa juga berpendapat bahwa membungkukkan tubuh saat memberi salam termasuk perbuatan yang dilarang.

Sebab, menurutnya, posisi membungkukkan tubuh seperti rukuk yang hanya ditujukan pada Allah SWT.

“Adapun membungkukkan tubuh ketika mengucapkan salam maka hal itu dilarang. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat At Tirmidzi dari Nabi SAW (hadits sebelumnya). Dan karena rukuk dan sujud hanya dilakukan untuk Allah Azza wa Jalla,” kata Ibnu Taimiyah yang diterjemahkan Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub dalam Ringkasan Kitab Adab.

Ibnu Taimiyah juga menambahkan, ada larangan berdiri sebagai bentuk penghormatan. Sebab hal itu sebagaimana dilakukan orang kafir antara satu dengan lainnya.

Keterangan tersebut didasarkan dari hadits Anas bin Malik RA yang pernah berkata, “Tidak ada orang (para sahabat) yang lebih kami cintai selain dari Rasulullah SAW. Ketika kami melihatnya, kami tidak berdiri menyambut beliau, karena kami tahu beliau tidak suka hal itu.”

Jalan Tengah: Sopan Santun vs. Ritual

Di Indonesia modern, perdebatan ini sering menemukan jalan tengah:

  • Yang dilarang keras: Membungkuk sedalam ruku’ atau sujud.
  • Yang diterima secara sosial: Menundukkan kepala atau membungkuk ringan hanya sebatas menunjukkan sopan santun saat melintas atau menyapa orang tua, tanpa niat ritual keagamaan. Ini diterima sebagai etika sosial biasa (misalnya, menunduk saat meminta izin lewat di keramaian).

Namun, artikel ini mengajak kita untuk menyadari fakta historis dan teologis: jika kita membungkuk, kita sedang menjalankan budaya yang diwariskan oleh peradaban kuno Nusantara, bukan menjalankan ajaran yang diinstruksikan oleh Islam.

Pesan akhirnya adalah: Sopan santun dan hormat wajib dijaga, tetapi kita tidak perlu membungkuk untuk membuktikannya.

Salam yang tulus dan adab bicara yang baik sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan martabat kita sebagai manusia yang setara, dengan ketaatan tertinggi hanya tertuju kepada Yang Maha Kuasa.***

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

COP 30 dan Desa: Antara Komitmen Global dan Realitas di Tapak
Jeritan yang Tak Didengar: Membaca Ulang Tragedi SMAN 72
Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya
Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates
Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai
Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital
Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex
Ketersendirian Pahlawan dan Mandat untuk Menang: Filosofi Eksistensialisme dalam Perjuangan Pribadi

Berita Terkait

Jumat, 14 November 2025 - 15:50 WIB

COP 30 dan Desa: Antara Komitmen Global dan Realitas di Tapak

Jumat, 14 November 2025 - 15:36 WIB

Jeritan yang Tak Didengar: Membaca Ulang Tragedi SMAN 72

Jumat, 14 November 2025 - 11:59 WIB

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Jumat, 14 November 2025 - 09:25 WIB

Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates

Jumat, 14 November 2025 - 08:02 WIB

Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai

Berita Terbaru