PRESIDEN Prabowo Subianto melontarkan sebuah gebrakan yang menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan pelaku usaha dan pengamat ekonomi: penghapusan kuota impor.
Dalam pernyataannya, Prabowo menilai sistem kuota selama ini hanya menciptakan kartel impor terselubung, yang menguntungkan segelintir pihak dan menyulitkan akses masyarakat terhadap barang-barang pokok.
“Sudah saatnya sistem kuota dihapus. Siapa pun yang mau impor daging atau bahan kebutuhan pokok, silakan. Rakyat kita juga sudah pintar, jangan dibatasi lagi dengan kuota-kuota itu,” tegas Prabowo dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta (8/4/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Latar Belakang Gagasan Prabowo
Gagasan ini lahir dari dorongan untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih terbuka, adil, dan efisien.
Prabowo menyoroti bagaimana selama ini kuota impor sering kali digunakan sebagai alat kepentingan kelompok tertentu, yang menciptakan ketimpangan dalam distribusi izin impor.
Namun, keputusan ini juga tak bisa dilepaskan dari situasi global, di mana Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini menaikkan tarif impor balasan terhadap Tiongkok hingga 104%.
Dunia kini menghadapi babak baru ketegangan perdagangan, yang berpotensi menimbulkan efek domino terhadap rantai pasok global.
Dalam konteks ini, Prabowo tampaknya ingin memastikan bahwa Indonesia tetap bisa menjaga stabilitas pasokan kebutuhan pokok dan bahan baku industri, tanpa harus bergantung pada peraturan rumit yang justru memperlambat respons pasar.
Dampak Positif: Membuka Akses dan Menekan Harga
Penghapusan kuota bisa berdampak positif bagi konsumen dan industri yang selama ini kesulitan mendapatkan pasokan.
Tanpa kuota, pasokan barang bisa lebih fleksibel, harga lebih terkendali, dan kompetisi menjadi lebih terbuka. Ini sangat penting terutama ketika pasokan lokal belum mampu mencukupi permintaan—seperti kasus daging, gula, atau kedelai.
Di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan proteksionis negara-negara besar seperti AS, Indonesia perlu memastikan bahwa sistem perdagangannya cukup adaptif untuk menghadapi fluktuasi harga dan gangguan rantai pasok.
Dengan sistem terbuka, respons terhadap kekurangan bisa lebih cepat dilakukan.
Ancaman Nyata: Industri Lokal Bisa Tergerus
Namun, kebijakan ini juga mengandung risiko besar. Sektor-sektor seperti pertanian, peternakan dan Fashion lokal yang belum kompetitif berpotensi kolaps jika dibanjiri produk impor yang lebih murah.
Jika tidak disertai dengan perlindungan dan pemberdayaan terhadap produsen lokal, kebijakan ini malah bisa memperdalam ketimpangan.
Tanpa kuota, pasar menjadi terbuka lebar. Tapi dalam konteks global yang sedang memanas akibat perang dagang, kita juga perlu waspada.
Barang-barang murah dari negara lain bisa masuk besar-besaran ke Indonesia sebagai pelarian pasar, merusak harga domestik dan menyulitkan produsen dalam negeri.
Neraca Komoditas: Alat Kontrol atau Formalitas?
Pemerintah menyatakan bahwa sistem pengendalian tetap akan dijalankan melalui Neraca Komoditas (NK), yang menghitung produksi dan konsumsi nasional untuk menentukan kebutuhan impor. Namun, efektivitas NK masih dipertanyakan, apalagi jika tidak disertai pembatasan fisik seperti kuota.
NK bisa menjadi alat pengendali yang baik, tapi jika data yang digunakan tidak akurat dan pengawasan lemah, maka kebijakan ini rawan disalahgunakan.
Mencari Jalan Tengah: Terbuka Tapi Terkontrol
Daripada menghapus kuota secara total, langkah yang lebih bijak bisa jadi adalah membuka akses lebih luas dengan sistem kuota yang lebih transparan, terukur, dan adil.
Impor bahan baku industri tetap dipermudah, tetapi komoditas strategis seperti pangan harus tetap memiliki pengendalian untuk melindungi petani dan UMKM.
Dalam menghadapi tekanan global akibat perang dagang, Indonesia harus fleksibel namun protektif. Kita tidak bisa hanya bergantung pada mekanisme pasar.
Negara harus hadir dalam menjamin keadilan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan.
***
Wacana penghapusan kuota impor ala Prabowo adalah langkah berani yang membuka peluang pembaruan dalam sistem perdagangan nasional.
Namun, keberanian ini harus dibarengi dengan kebijakan proteksi cerdas, pengawasan ketat, dan pemberdayaan produsen lokal secara masif. Jangan sampai semangat membuka pasar justru mengorbankan petani, peternak, dan industri kecil di negeri sendiri.
Dalam dunia yang semakin tak menentu akibat perang dagang, kebijakan perdagangan harus tanggap, adaptif, dan tetap berpihak pada kepentingan nasional.
Pasar bebas memang penting, tapi ketahanan ekonomi nasional jauh lebih penting.***
Penulis : Bar Bernad