DALAM berbagai kesempatan, Presiden Prabowo mengaku kerap membuka sosial media menjelang tidur. Ia melihat orang-orang menganalisis dirinya, bahkan seolah lebih tahu isi kepalanya daripada dirinya sendiri.
Salah satu narasi yang paling sering muncul? Bahwa dirinya dan Presiden sebelumnya, Joko Widodo, kini sudah pecah kongsi.
Narasi ini terus diulang-ulang: bahwa Prabowo tak lagi sejalan dengan Jokowi, bahwa Prabowo sekadar “disetir”, atau bahkan bahwa pemerintahan hari ini adalah kelanjutan Jokowi yang dikemas ulang.
Pertanyaannya: mengapa banyak yang begitu ingin Prabowo dan Jokowi pecah?
Politik yang Doyan Drama
Jawabannya mungkin sederhana: karena kita lebih menikmati drama daripada stabilitas.
Di tengah padatnya isu-isu besar seperti pangan, energi, dan kesehatan, publik—dan sebagian elite—masih tergoda dengan narasi pertengkaran kekuasaan.
Padahal, jika dipikir-pikir, apa untungnya bagi bangsa jika dua tokoh besar ini benar-benar berseteru?
Tidak ada.
Tapi bagi sebagian pihak, konflik adalah alat. Jika Prabowo–Jokowi tetap rukun, mereka kehilangan bahan untuk mendeligitimasi kekuasaan.
Jika Prabowo tetap menghormati Jokowi, mereka kehilangan dalih untuk memecah dukungan.
Maka dibuatlah narasi tandingan, seolah perpecahan tinggal menunggu waktu.
Demokrasi yang Terjebak Sentimen
Ironisnya, narasi ini justru sering datang dari mereka yang mengklaim pejuang demokrasi.
Demokrasi yang mestinya dibangun di atas ide, data, dan argumentasi, justru diseret ke arena sinisme, seolah semua yang terjadi di negara ini hanyalah sandiwara elite.
Padahal, hubungan Prabowo dan Jokowi sudah masuk fase “pasca-politik”. Bukan lagi urusan siapa menang siapa kalah, tapi bagaimana kelanjutan agenda besar bangsa bisa berjalan tanpa banyak reset.
Dalam banyak kesempatan, Prabowo selalu menyebut pencapaian pemerintahnya sebagai lanjutan dari kerja-kerja Jokowi.
Sementara Jokowi pun, dengan lugas, menyebut bahwa hari ini presidennya adalah Prabowo Subianto—dan ia mendukung.
Tapi narasi akur semacam ini tidak laku di sosial media. Ia tak memicu debat. Tak viral. Tak klik-able.
Politik Butuh Debat, Bukan Drama
Tentu, mengawasi pemerintah itu penting. Menyoal arah kebijakan, menilai efektivitas program, dan mengkritik keputusan politik adalah bagian dari demokrasi yang sehat.
Tapi menciptakan harapan agar Prabowo dan Jokowi pecah? Itu bukan kritik—itu hasrat akan kericuhan.
Narasi pecah kongsi itu, sejatinya, lebih menguntungkan mereka yang tidak peduli soal masa depan bangsa.
Mereka hanya ingin panggung. Dan jika perlu, bangsa ini diadu satu sama lain agar mereka tetap relevan.
Padahal hari ini, tantangan jauh lebih nyata: krisis iklim, bonus demografi, ketimpangan digital, pangan, dan gizi anak-anak Indonesia.
Semua ini tak akan selesai jika publik masih terperangkap pada gosip politik kekuasaan.
Sebagai rakyat, kita berhak mengkritik pemerintah. Tapi jangan sampai kita justru jatuh cinta pada keributan.
Karena bangsa besar tak dibangun dari pertengkaran elite, tapi dari kolaborasi yang matang—meski tidak selalu sempurna.***
Penulis : Bar Bernad




















