Pendahuluan : Paradoks Koperasi di Indonesia
Koperasi—dipuja dalam konstitusi sebagai “soko guru perekonomian”, tetapi dipinggirkan dalam praktik kebijakan dan diskursus akademik.
Padahal, secara empiris, revenue CHS Coop Amerika 2,5 kali lebih besar daripada Bank Rakyat Indonesia, dan teori cooperative equilibrium Nash membuktikan keunggulannya dibanding model kompetitif.
Bahkan diketahui pula bahwa kemajuan bersama sebagaimana diamanahkan dalam kalimat “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” hanya bisa dicapai apabila pembangunan yang dilaksanakan memberikan solusi win-win bagi seluruh rakyat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi mengapa kaum intelektual Indonesia apriori atau abai akan amanah Pasal 33 ini? Melalui lensa Thomas Sowell, kita akan menggali akar epistemik dari sikap apriori ini.
1. Bias Epistemik: Romantisme Ideologis vs Realitas Organik
A. Animistic Fallacy: Ilusi Perencanaan Pusat
Sowell mengkritik kecenderungan intelektual menganggap solusi harus berasal dari desain rasional top-down (animistic fallacy), bukan evolusi organik.
Koperasi—yang tumbuh dari bawah—dianggap “tidak ilmiah” karena tak lahir dari blueprint teknokrat . Contoh nyata:
- Program KUD pada masa lalu dirancang intelektual Jakarta sebagai alat politik, bukan respons kebutuhan petani. Akibatnya, 74% kolaps pasca-Reformasi.
- Kontras dengan koperasi credit union di Kalimantan Barat yang bertahan dan berkembang berbasis trust lokal.
B. Physical Fallacy: Obsesi pada Bentuk Fisik
Intelektual terjebak physical fallacy—mengukur kemajuan koperasi dari jumlah gedung atau modal, bukan nilai sosial-ekonominya. Padahal, koperasi sukses justru bermodal kepercayaan masyarakat lokal.
2. Warisan Kolonial: Rasionalitas Administratif vs Kearifan Lokal
A. Dekonstruksi Pengetahuan Kolonial
Pendidikan tinggi Indonesia mewarisi epistemologi Belanda yang meminggirkan model ekonomi komunal:
- Kurikulum ekonomi mengajarkan homo economicus (manusia rasional pencari untung), tapi mengabaikan homo cooperativus (manusia berjaringan gotong royong).
- Studi koperasi hanya jadi sub-bab di jurusan ekonomi/sosiologi, tanpa fakultas mandiri seperti pertanian atau pertahanan.
B. Mitos “Modernitas = Kapitalisme”
Kaum intelektual terpesona narasi bahwa kemajuan = industrialisasi kapitalistik. Koperasi dianggap relic tradisional yang menghambat modernitas.
Padahal, Mondragon Corporation di Spanyol—berbasis koperasi—adalah konglomerat teknologi dengan revenue €12 miliar (2023) demikian pun koperasi Nonghyup di Korea Selatan atau Zen-Noh di Jepang merupakan institusi ekonomi koperasi yang sangat besar dampaknya terhadap perekonomian nasional.
3. Kegagalan Institusionalisasi Akademik
A. Kurikulum yang Terfragmentasi
- Pertanian memiliki fakultas khusus karena dianggap berbasis sains eksak (biologi, kimia, matematika, fisika dan ilmu hasil penggabungan dari banyak disiplin seperti agronomi atau pasca panen). Koperasi—yang multidisiplin (ekonomi, sosiologi, bisnis, manajemen, matematika, hukum, sejarah, komunikasi, dan lain-lain)—dicerai-beraikan tanpa integrasi.
- Tidak ada Land-Grant Act for Cooperatives seperti di AS yang mendanai riset pertanian, sehingga dukungan riset terhadap koperasi minimal.
B. Minim Mekanisme Umpan Balik
Sowell menekankan akuntabilitas melalui umpan balik realitas. Namun, kegagalan koperasi (e.g., korupsi pengurus) jarang diteliti secara ilmiah, tetapi dianggap bukti “kelemahan model”, bukan kesalahan desain kebijakan.
Akibatnya adalah koperasi dinilai buruk dengan sendirinya, padahal tidak demikian. Kalau argumen tadi digunakan, institusi usaha seperti Perseroan Terbatas (PT) juga tidak kurang aspek negatifnya seperti korupsi.
4. Dominasi Narasi Kapitalis dalam Kebijakan
A. Agnogenesis Terstruktur
Ignorance by design kapitalis menciptakan agnogenesis (produksi ketidaktahuan) tentang koperasi:
– BRI (Bank Rakyat Indonesia)
BRI (Bank Rakyat Indonesia) sebelumnya mengalami beberapa perubahan status, termasuk menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) pada tahun 1960 dan kemudian diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia sebagai Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelayan (BIUKTN) pada tahun 1965.
Setelah itu, status BRI dijadikan bank umum melalui Undang-Undang No. 21 tahun 1968.
Artinya, BRI dijauhkan dari koperasi by designed oleh teknokrat Orde Baru. Padahal berdasarkan perkembangan koperasi yang sukses dalam konteks global faktor penentu sukses nomor kedua bagi koperasi adalah keberadaan lembaga pembiayaan khusus bagi koperasi.
B. Hegemoni Metrik Kapitalis
Keberhasilan koperasi diukur dengan ROI dan laba, bukan SROI (Social Return on Investment) atau pemberdayaan anggota. Akibatnya, koperasi yang unggul secara sosial tapi minim profit dianggap “gagal”.
5. Jalan Keluar: Perjuangan Epistemik ala Sowell
A. Dekolonisasi Kurikulum
- Integrasikan local wisdom seperti arisan dan mapalus ke dalam kurikulum ekonomi.
- Dirikan Center for Cooperative Studies di universitas, berbasis model Polytechnic University of the Philippines yang sukses gelar Bachelor in Cooperatives .
B. Membangun Epistemologi Alternatif
Ganti metrik kapitalis dengan indikator koperasi:
Indikator Kapitalis | Indikator Koperasi |
ROI (Rate on Investment) | SROI (Social Return on Investment) |
Laba Pemegang Saham | Partisipasi Anggota |
Pertumbuhan Equitas | Pengurangan Kemiskinan Anggota |
C. Advokasi Kebijakan Berbasis Bukti
- Moratorium regulasi top-down: Beri otonomi koperasi merancang model sesuai konteks lokal.
- UU Riset Koperasi: Alokasikan 1% APBN untuk riset koperasi mandiri, terlepas dari Kemenkop.
Kesimpulan: Dari Apriori ke Aksiologi
Kebangkitan koperasi memerlukan revolusi epistemik:
“Intellectuals who ignore trade-offs, real people pay the price.” — Thomas Sowell
Koperasi bukan sekadar model ekonomi, tapi epistemologi kerakyatan yang mengembalikan manusia sebagai subjek—bukan objek—pembangunan.
Agar tidak terjebak dalam animistic fallacy, intelektual Indonesia harus turun dari menara gading, belajar dari kondisi lapangan.
Masa depan koperasi terletak pada perjuangan terhadap hegemoni pengetahuan yang mengabaikan realitas koperasi sebagai institusi pencipta win-win solutions secara nyata dalam masyarakat.
Referensi Utama:
Sowell, T. (1980). Knowledge and Decisions.
Sowell, T. (2009). Intellectuals and Society
Data Lapangan: Model REPS di Nepal dan CHS Coop AS
Kurikulum Dekolonial: Pengalaman PUP Filipina
Agus Pakpahan adalah Rektor Ikopin University, Pakar Ekonomi Kelembagaan.