ISU RESHUFFLE Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT), Yandri Susanto, kembali mencuat ke permukaan.
Desakan untuk mencopot Yandri tidak hanya datang dari kelompok mahasiswa, tetapi juga dari beberapa elemen masyarakat yang mengaitkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilkada Serang dengan kapasitasnya sebagai pejabat negara.
Namun, dalam demokrasi yang sehat, keputusan pergantian menteri seharusnya didasarkan pada evaluasi kinerja yang objektif, bukan sekadar tekanan politik.
Reshuffle sebagai Alat Tekanan Politik
Isu reshuffle sering kali dimanfaatkan sebagai alat politik untuk menekan atau melemahkan posisi menteri yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan tertentu. Di Indonesia, beberapa menteri di masa lalu pernah menjadi sasaran reshuffle bukan karena kinerjanya buruk, melainkan karena dinamika politik internal pemerintahan.
Dalam kasus Yandri Susanto, desakan reshuffle muncul setelah MK membatalkan kemenangan istrinya dalam Pilkada Serang. Hal ini mengindikasikan bahwa isu ini tidak semata-mata tentang kinerja, melainkan lebih kepada kepentingan politik yang mencoba menghubungkan jabatan menteri dengan urusan Pilkada daerah.
Jika reshuffle dilakukan hanya karena tekanan kelompok tertentu tanpa evaluasi kinerja yang menyeluruh, ini dapat menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menteri yang bekerja dengan baik berpotensi dicopot hanya karena faktor politik sesaat, bukan berdasarkan kontribusi nyatanya bagi masyarakat.
Dampak Negatif Reshuffle Tanpa Evaluasi Kinerja
Reshuffle yang tidak berbasis evaluasi kinerja dapat berdampak negatif terhadap efektivitas pemerintahan. Setiap pergantian menteri memerlukan masa adaptasi, dan tanpa urgensi yang jelas, reshuffle justru dapat menciptakan ketidakpastian yang lebih besar daripada manfaatnya.
Oleh karena itu, keputusan reshuffle sebaiknya didasarkan pada evaluasi kinerja yang komprehensif dan objektif. Hal ini penting untuk memastikan stabilitas dan efektivitas pemerintahan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Demokrasi dan Kepentingan Rakyat
Dalam sejarah politik Indonesia, desakan reshuffle sering kali didorong oleh kepentingan tertentu yang tidak selalu berorientasi pada kepentingan rakyat. Jika Presiden Prabowo Subianto ingin mempertahankan stabilitas pemerintahan dan fokus pada program-program prioritasnya, reshuffle harus dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja, bukan karena tekanan dari kelompok tertentu.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi isu ini. Jangan sampai demokrasi kita terjebak dalam praktik politisasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Reshuffle menteri bukan sekadar mengganti pejabat, tetapi menyangkut kesinambungan program pembangunan yang sedang berjalan.
Pemerintahan sebaiknya tetap fokus pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat, bukan terseret dalam pusaran kepentingan politik yang dapat menghambat kemajuan bangsa. Dengan demikian, reshuffle akan menjadi alat untuk memperkuat pemerintahan, bukan melemahkannya.***
Aap Salapudin dari Aktivis Jaringan Nasional 98 (Jarnas 98)





















