“Miskin di Mata, Tak Miskin di Data”

- Redaksi

Senin, 5 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi Foto : kabarbursa

Ilustrasi Foto : kabarbursa

COBA bayangkan seorang ibu di pinggiran kota. Setiap hari ia menjual gorengan di trotoar demi bisa membeli beras sekilo dan sebungkus mi instan untuk makan malam anak-anaknya. Kadang kalau sedang sepi, mereka hanya makan nasi dan garam. Tapi menurut negara, ia bukan orang miskin.

Mengapa? Karena penghasilannya sedikit di atas Rp595.242 per bulan, angka yang oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebut sebagai “garis kemiskinan”.

Bila ia punya pengeluaran Rp600 ribu, ia langsung dianggap “bukan miskin” — padahal nyatanya, untuk hidup layak pun belum sampai.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara itu, Bank Dunia menetapkan batas kemiskinan yang lebih manusiawi: sekitar Rp1.109.280 per bulan. Dengan ukuran itu, ternyata ada 171,4 juta rakyat Indonesia yang masuk kategori miskin. Tapi anehnya, versi resmi negara hanya mencatat 24,1 juta.

Ada lebih dari 147 juta jiwa yang miskinnya tidak diakui.

Mereka miskin, tapi tak tercatat. Mereka lapar, tapi tak masuk data. Mereka sakit, tapi tak dianggap cukup sengsara untuk dibantu.

Inilah kemiskinan yang tersembunyi di balik angka-angka indah, yang sering dibanggakan dalam rapat-rapat besar, spanduk kebijakan, dan pidato tahunan.

Padahal kemiskinan bukan statistik. Ia adalah suara perut kosong anak sekolah yang belajar dengan kaki telanjang. Ia adalah bapak tukang ojek yang bingung membayar uang kontrakan.

Ia adalah nenek-nenek yang mengantri minyak goreng murah sambil menahan nyeri di lututnya.

Negara punya kuasa mengubah nasib rakyatnya—tapi bagaimana bisa membantu, jika tak mau melihat mereka? Kemiskinan yang tak diakui adalah kemiskinan yang tak akan pernah ditolong.

Sudah waktunya kita jujur: standar kemiskinan kita terlalu rendah, terlalu kejam, dan terlalu jauh dari realitas.

Jika kita ingin jadi bangsa yang adil, maka mulailah dari keberanian mengakui: bahwa yang miskin bukan hanya yang paling menderita, tapi juga mereka yang nyaris bertahan.

Karena hidup layak bukan sekadar hidup. Itu hak setiap warga negara.***

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Seneca: Amarah Tak Terkendali Lebih Menyakiti Diri Kita daripada Luka yang Menyebabkannya
Sikap Tegas Bupati dan Kejari Bekasi Ditunggu Warga Dalam Polemik Fasos-Fasum yang Dikelola Secara Ilegal
Zeno dari Citium: Di Era Ramai Bicara, Bijaklah untuk Lebih Banyak Mendengarkan
Gubernur Dedi Mulyadi Diidolakan, Tapi Mampukah Ia Ubah Jawa Barat?
Sampah, Sanksi, dan Sadar Diri: Saatnya Pengelola Kawasan Tidak Lagi Berlindung di Balik Pemda
Menanti Kehadiran Peran Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional
Jangan Paksa Dunia Mengikuti Kehendakmu – Inilah Nasihat Epictetus yang Menguatkan Jiwa
Bom Waktu Ketimpangan: Mengapa Rakyat Tetap Miskin Meski Negara Kaya

Berita Terkait

Sabtu, 17 Mei 2025 - 23:04 WIB

Seneca: Amarah Tak Terkendali Lebih Menyakiti Diri Kita daripada Luka yang Menyebabkannya

Sabtu, 17 Mei 2025 - 22:19 WIB

Sikap Tegas Bupati dan Kejari Bekasi Ditunggu Warga Dalam Polemik Fasos-Fasum yang Dikelola Secara Ilegal

Jumat, 16 Mei 2025 - 22:56 WIB

Zeno dari Citium: Di Era Ramai Bicara, Bijaklah untuk Lebih Banyak Mendengarkan

Kamis, 15 Mei 2025 - 22:30 WIB

Gubernur Dedi Mulyadi Diidolakan, Tapi Mampukah Ia Ubah Jawa Barat?

Rabu, 14 Mei 2025 - 09:31 WIB

Sampah, Sanksi, dan Sadar Diri: Saatnya Pengelola Kawasan Tidak Lagi Berlindung di Balik Pemda

Berita Terbaru