COBA bayangkan seorang ibu di pinggiran kota. Setiap hari ia menjual gorengan di trotoar demi bisa membeli beras sekilo dan sebungkus mi instan untuk makan malam anak-anaknya. Kadang kalau sedang sepi, mereka hanya makan nasi dan garam. Tapi menurut negara, ia bukan orang miskin.
Mengapa? Karena penghasilannya sedikit di atas Rp595.242 per bulan, angka yang oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebut sebagai “garis kemiskinan”.
Bila ia punya pengeluaran Rp600 ribu, ia langsung dianggap “bukan miskin” — padahal nyatanya, untuk hidup layak pun belum sampai.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Bank Dunia menetapkan batas kemiskinan yang lebih manusiawi: sekitar Rp1.109.280 per bulan. Dengan ukuran itu, ternyata ada 171,4 juta rakyat Indonesia yang masuk kategori miskin. Tapi anehnya, versi resmi negara hanya mencatat 24,1 juta.
Ada lebih dari 147 juta jiwa yang miskinnya tidak diakui.
Mereka miskin, tapi tak tercatat. Mereka lapar, tapi tak masuk data. Mereka sakit, tapi tak dianggap cukup sengsara untuk dibantu.
Inilah kemiskinan yang tersembunyi di balik angka-angka indah, yang sering dibanggakan dalam rapat-rapat besar, spanduk kebijakan, dan pidato tahunan.
Padahal kemiskinan bukan statistik. Ia adalah suara perut kosong anak sekolah yang belajar dengan kaki telanjang. Ia adalah bapak tukang ojek yang bingung membayar uang kontrakan.
Ia adalah nenek-nenek yang mengantri minyak goreng murah sambil menahan nyeri di lututnya.
Negara punya kuasa mengubah nasib rakyatnya—tapi bagaimana bisa membantu, jika tak mau melihat mereka? Kemiskinan yang tak diakui adalah kemiskinan yang tak akan pernah ditolong.
Sudah waktunya kita jujur: standar kemiskinan kita terlalu rendah, terlalu kejam, dan terlalu jauh dari realitas.
Jika kita ingin jadi bangsa yang adil, maka mulailah dari keberanian mengakui: bahwa yang miskin bukan hanya yang paling menderita, tapi juga mereka yang nyaris bertahan.
Karena hidup layak bukan sekadar hidup. Itu hak setiap warga negara.***
Penulis : Bar Bernad