Jakarta, Mevin.ID — Sejak dunia mulai bernapas lega pasca-COVID-19, kini sebuah virus lain kembali mengetuk pintu kewaspadaan global: Mpox, penyakit yang dulu dianggap langka, kini meledak kembali.
Pada 5 Juni 2025, WHO kembali menetapkan mpox sebagai darurat kesehatan global, menyusul lonjakan signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, jumlah kasus memang belum mencapai ratusan. Tapi lonjakan mendadak—terutama di kota-kota besar—menjadi sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan. Sejak 2022, Indonesia mencatat 88 kasus, dan 14 kasus tercatat hanya sepanjang 2024, angka yang cukup mengkhawatirkan jika tidak ditanggapi cepat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami tidak bicara soal jumlah semata. Yang berbahaya adalah kesadaran yang rendah, dan penularan diam-diam,” kata seorang pejabat Kemenkes yang enggan disebut namanya.
Gejala yang Tak Disangka, Penularan yang Tak Terlihat
Apa yang membuat mpox berbahaya? Salah satunya: gejalanya kerap disangka penyakit biasa.
Orang bisa mulai dengan demam tinggi, lemas, nyeri otot, dan sakit kepala—gejala yang sangat mirip flu biasa. Tapi dalam beberapa hari, bintik-bintik merah muncul, kemudian menjadi lepuhan berisi cairan, bahkan nanah. Sakit dan gatal bukan main. Lesi-lesi itu bisa menyebar ke wajah, tangan, bahkan area genital.
Gejala lain yang tak kalah serius adalah pembengkakan kelenjar getah bening, terutama di leher, ketiak, dan selangkangan.
“Awalnya saya kira itu cacar biasa,” kata Yuda (nama samaran), seorang pemuda asal Jakarta Selatan yang baru pulih dari infeksi mpox. “Tapi waktu muncul lesi-lesi itu, saya panik. Rasanya seperti terbakar.”
Menurut data Kementerian Kesehatan, gejala bisa berlangsung hingga 4 minggu, dan pada beberapa kasus bahkan berujung pada komplikasi seperti infeksi kulit sekunder, radang paru-paru, hingga ensefalitis (radang otak).
Virus yang Menular Lewat Sentuhan
Tidak seperti COVID-19 yang menular lewat udara, mpox menyebar lewat sentuhan langsung—baik kontak fisik maupun benda yang terkontaminasi cairan tubuh penderita. Ini yang membuat barang pribadi seperti handuk, seprai, pakaian jadi medium penularan yang tak terduga.
“Bahaya mpox bukan karena cepat menular seperti flu, tapi karena penularannya sering tak disadari. Kita berbagi tempat duduk, handuk, atau peluk teman yang tanpa gejala—dan bisa langsung kena,” ujar dr. Ratna Wulandari dari RS Persahabatan.
Vaksin dan Tindakan Pencegahan yang Diabaikan
Meski belum ada vaksin khusus mpox yang tersedia luas di Indonesia, vaksin cacar lama (smallpox) terbukti mampu memberikan perlindungan parsial. WHO dan Kementerian Kesehatan kini mendorong agar vaksinasi diberikan kepada kelompok berisiko tinggi—tenaga kesehatan, petugas bandara, dan pelancong internasional.
Selain itu, langkah sederhana seperti mencuci tangan, tidak berbagi barang pribadi, serta isolasi mandiri jika muncul gejala menjadi senjata utama. Sayangnya, di tengah masyarakat yang sudah jenuh akan protokol kesehatan, imbauan ini sering tak digubris.
WHO Siaga, Indonesia Harus Bergerak Lebih Cepat
WHO sendiri telah mengaktifkan sistem kewaspadaan global, termasuk memperkuat pengawasan di titik-titik masuk negara dan menyediakan panduan strategis untuk negara-negara yang terdampak.
Sementara itu, pemerintah Indonesia mulai menggencarkan sosialisasi lewat media sosial dan kampanye di sekolah serta tempat kerja. Namun sejumlah ahli menilai, upaya ini belum cukup masif.
“Ini bukan hanya soal menunggu data kasus meningkat,” kata Diah Ramadhani, epidemiolog dari Universitas Airlangga. “Tapi soal mencegah gelombang yang bisa datang tiba-tiba jika kita abai.”
Mpox adalah peringatan keras bahwa pandemi bukan masa lalu. Virus baru, kebiasaan lama, dan sistem kesehatan yang rapuh bisa jadi kombinasi berbahaya. Yang dibutuhkan sekarang bukan hanya kebijakan, tetapi kesadaran publik—bahwa penyakit menular masih terus mengintai.
Bukan untuk panik. Tapi untuk lebih hati-hati. Karena seperti kata WHO: kewaspadaan adalah perlindungan pertama.***