Yogyakarta, Mevin.ID – Di tengah denting musik dan dentuman semangat anak muda dalam acara Sound of Justice, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menghadirkan gebrakan yang tak biasa: Museum Koruptor Indonesia.
Bukan tempat selfie, bukan pula galeri nostalgia. Museum ini lebih menyerupai ruang pengakuan dosa publik — tempat wajah-wajah pengkhianatan dipajang tanpa sensor.
Mereka yang pernah dielu-elukan sebagai pejabat negara, kini berdiri membisu dalam bentuk potret dan kronologi kasus. Dari Johny G. Plate yang terseret proyek BTS bernilai triliunan rupiah, Harvey Moeis dalam skandal korupsi nikel, hingga Zarof Ricar, sang “mafia peradilan” yang menjual keadilan seharga suap — semuanya hadir dalam sorotan tanpa tedeng aling-aling.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Museum Koruptor Pertama di Indonesia
“Sound Of Justice di UGM” pic.twitter.com/xu46IuhCWO
— Maudy Asmara (@Mdy_Asmara1701) June 20, 2025
“Bikin kita sadar, betapa dalamnya luka negeri ini karena orang-orang rakus yang pernah kita panggil pejabat. Rasanya kayak ditampar realita,” tulis seorang pengunjung di media sosial X.
Berbeda dari museum konvensional, Museum Koruptor mengemas kronologi kejahatan, angka kerugian negara, hingga modus operandi secara visual dan data yang mudah dipahami. Tidak ada eufemisme. Tidak ada ruang untuk menyepelekan. Semua ditampilkan apa adanya — seperti luka yang sengaja dibuka agar kita belajar untuk tidak mengulangnya.
Para pengunjung keluar dengan ekspresi beragam: geram, kecewa, bahkan tertegun. Bukan hanya karena angka kerugian yang fantastis, tapi karena kenyataan bahwa korupsi bukanlah hal asing — ia dekat, sistemik, dan bisa terjadi di balik jas pejabat yang dulu kita puja.
“Nama Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap dari koruptor biar hukumannya ringan. Jadi ternyata hukum bukan lagi soal keadilan… tapi soal harga,” tulis seorang mahasiswa di Instagram usai mengunjungi pameran.
Lebih dari sekadar galeri, Museum Koruptor adalah ruang edukasi yang menyentuh kesadaran. Ia menyampaikan pesan tajam: Negara ini bukan miskin, tapi terlalu sering dijarah. Dan penghancur bangsa bukan selalu dari luar, tapi bisa justru mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Pameran ini pun mendapat sambutan hangat, terutama dari kalangan mahasiswa. Banyak yang berharap agar format edukatif seperti ini bisa direplikasi di berbagai kampus di Indonesia, sebagai bagian dari pendidikan antikorupsi yang menggugah nalar dan nurani.
Korupsi Tak Lagi Abstrak — Ia Punya Wajah, Nama, dan Jabatan
Museum ini mengingatkan bahwa korupsi bukan sekadar wacana. Ia adalah kisah nyata tentang pengkhianatan. Dan ketika pengkhianatan itu dipajang di ruang publik, bukan untuk dipermalukan, tapi untuk diingat — agar kita tak lagi pura-pura tidak tahu.
Di panggung Sound of Justice, bersama pertunjukan satir, karya seni, dan lantunan musik dari Om Wawes, publik diajak melawan lupa.
Sebab perlawanan terhadap korupsi tak cukup hanya di meja pengadilan — ia harus hidup dalam ruang kesadaran, di setiap kepala, dan terutama, di setiap hati yang masih peduli.***