“Indonesia negara kaya.”
Kita sudah bosan mendengar frasa itu. Di televisi, pidato pejabat, sampai buku pelajaran sekolah. Seolah kalimat itu cukup untuk menyembuhkan luka lapar dan kemiskinan berjuta rakyat.
Tapi coba tanya ibu-ibu di pasar yang bingung menghadapi harga beras yang naik terus. Coba tanya buruh pabrik yang gajinya tak naik-naik, sementara harga hidup makin tak masuk akal.
Kalau negara ini kaya, mengapa hidup kita tetap miskin? Ke mana uangnya mengalir?
Sudah saatnya kita tak hanya mengeluh. Kita harus berpikir. Dan di situlah Tan Malaka, lewat karyanya Madilog, datang memberi tamparan keras bagi siapa pun yang masih tertidur dalam ilusi.
Madilog: Obat Waras dari Leluhur yang Diabaikan
Di tahun 1943, saat dunia masih porak-poranda oleh Perang Dunia II, Tan Malaka menulis Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika.
Sebuah buku filsafat yang ia susun saat sembunyi dari kejaran penjajah. Tapi isinya, lebih tajam dari kritik siapa pun hari ini. Ia menyebut rakyat harus berhenti berpikir secara mistik dan mulai memahami dunia lewat akal sehat.
Tan menulis bukan untuk filsuf kampus, tapi untuk buruh, petani, dan rakyat biasa. Baginya, berpikir logis dan materialistis bukan dosa. Justru itu fondasi kebebasan.
Tiga Hukum Kebebasan ala Tan Malaka
Di Madilog, Tan Malaka menawarkan tiga senjata berpikir yang bisa membebaskan rakyat dari kemiskinan dan pembodohan sistematis:
1. Materialisme
Melihat realitas berdasarkan fakta, bukan mitos.
Kalau rakyat miskin, kita harus tanya: berapa gaji mereka? Bagaimana distribusi kekayaan? Siapa pemilik tambang emas, sawit, dan smelter? Jangan percaya ucapan “ekonomi tumbuh” kalau dapur orang tak lagi ngebul.
2. Dialektika
Segala sesuatu berubah dan saling bertentangan.
Kemiskinan bukan kodrat. Ia lahir dari benturan kepentingan antara penguasa dan yang dikuasai. Negara ini dibangun dari keringat rakyat, tapi hasilnya dinikmati elite.
Dialektika membuat kita sadar: perubahan tak datang dari doa saja, tapi dari perjuangan.
3. Logika
Gunakan akal. Jangan mudah dibodohi.
Kalau APBN triliunan tapi sekolah rusak dan RS penuh, berarti ada yang salah. Logika sederhana ini sering ditenggelamkan oleh jargon, propaganda, dan drama politik.
Tan Malaka ingin rakyat kembali ke akal sehat, karena akal sehat adalah revolusi pertama.
“Uang Negara Itu Ada, Tapi Tidak untuk Rakyat”
Setiap tahun, Indonesia mencetak APBN lebih dari 3.000 triliun. Tapi mengapa anak-anak stunting masih ribuan? Kenapa nelayan harus berutang untuk beli solar? Mengapa jalan desa lebih mirip sungai kering ketimbang aspal?
Tan Malaka mungkin akan berkata:
Karena kita hidup dalam negara yang dipoles sebagai republik, tapi dikuasai dengan logika feodal.
Kekayaan negara memang ada. Tapi distribusinya timpang. Kekayaan itu dikapitalisasi oleh segelintir elite politik dan pemilik modal.
Kita membayar pajak, tapi yang menikmati hasilnya adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan. Rakyat hanya jadi penonton dalam panggung demokrasi yang dimonopoli uang.
Madilog: Warisan Pemberontakan Intelektual
Tan Malaka bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah simbol dari keberanian berpikir. Madilog bukan kitab kering filsafat, tapi pedang tajam untuk melawan kebodohan yang dilestarikan.
Saat ini, ketika rakyat terus dihadapkan pada harga-harga yang tak ramah, korupsi yang makin halus, dan janji-janji kosong yang terus berputar, kita butuh semangat Madilog. Kita harus bertanya:
Siapa yang mengelola kekayaan negara ini? Untuk siapa pembangunan itu dirancang? Kenapa rakyat tetap jadi sapi perah?
Lawan Ilusi, Rawat Akal Sehat
Bukan hanya minyak, emas, atau nikel yang dirampok. Tapi juga kesadaran kita.
Tan Malaka telah mengajarkan: “Berpikir itu tindakan revolusioner.” Dan hari ini, revolusi paling mendesak bukan dengan senjata, tapi dengan logika. Dengan bertanya, dengan membaca, dengan menolak diperbodoh.
Karena negeri ini akan terus miskin—bukan karena tak punya uang, tapi karena rakyatnya tak lagi berani berpikir.***
Penulis : Bar Bernad





















