Negara Kaya, Rakyat Miskin: Saat Madilog Tan Malaka Menampar Akal Sehat Kita

- Redaksi

Selasa, 5 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Indonesia negara kaya.”

Kita sudah bosan mendengar frasa itu. Di televisi, pidato pejabat, sampai buku pelajaran sekolah. Seolah kalimat itu cukup untuk menyembuhkan luka lapar dan kemiskinan berjuta rakyat.

Tapi coba tanya ibu-ibu di pasar yang bingung menghadapi harga beras yang naik terus. Coba tanya buruh pabrik yang gajinya tak naik-naik, sementara harga hidup makin tak masuk akal.

Kalau negara ini kaya, mengapa hidup kita tetap miskin? Ke mana uangnya mengalir?

Sudah saatnya kita tak hanya mengeluh. Kita harus berpikir. Dan di situlah Tan Malaka, lewat karyanya Madilog, datang memberi tamparan keras bagi siapa pun yang masih tertidur dalam ilusi.

Madilog: Obat Waras dari Leluhur yang Diabaikan

Di tahun 1943, saat dunia masih porak-poranda oleh Perang Dunia II, Tan Malaka menulis Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika.

Sebuah buku filsafat yang ia susun saat sembunyi dari kejaran penjajah. Tapi isinya, lebih tajam dari kritik siapa pun hari ini. Ia menyebut rakyat harus berhenti berpikir secara mistik dan mulai memahami dunia lewat akal sehat.

Tan menulis bukan untuk filsuf kampus, tapi untuk buruh, petani, dan rakyat biasa. Baginya, berpikir logis dan materialistis bukan dosa. Justru itu fondasi kebebasan.

Tiga Hukum Kebebasan ala Tan Malaka

Di Madilog, Tan Malaka menawarkan tiga senjata berpikir yang bisa membebaskan rakyat dari kemiskinan dan pembodohan sistematis:

1. Materialisme

Melihat realitas berdasarkan fakta, bukan mitos.

Kalau rakyat miskin, kita harus tanya: berapa gaji mereka? Bagaimana distribusi kekayaan? Siapa pemilik tambang emas, sawit, dan smelter? Jangan percaya ucapan “ekonomi tumbuh” kalau dapur orang tak lagi ngebul.

2. Dialektika

Segala sesuatu berubah dan saling bertentangan.

Kemiskinan bukan kodrat. Ia lahir dari benturan kepentingan antara penguasa dan yang dikuasai. Negara ini dibangun dari keringat rakyat, tapi hasilnya dinikmati elite.

Dialektika membuat kita sadar: perubahan tak datang dari doa saja, tapi dari perjuangan.

3. Logika

Gunakan akal. Jangan mudah dibodohi.
Kalau APBN triliunan tapi sekolah rusak dan RS penuh, berarti ada yang salah. Logika sederhana ini sering ditenggelamkan oleh jargon, propaganda, dan drama politik.

Tan Malaka ingin rakyat kembali ke akal sehat, karena akal sehat adalah revolusi pertama.

“Uang Negara Itu Ada, Tapi Tidak untuk Rakyat”

Setiap tahun, Indonesia mencetak APBN lebih dari 3.000 triliun. Tapi mengapa anak-anak stunting masih ribuan? Kenapa nelayan harus berutang untuk beli solar? Mengapa jalan desa lebih mirip sungai kering ketimbang aspal?

Tan Malaka mungkin akan berkata:
Karena kita hidup dalam negara yang dipoles sebagai republik, tapi dikuasai dengan logika feodal.

Kekayaan negara memang ada. Tapi distribusinya timpang. Kekayaan itu dikapitalisasi oleh segelintir elite politik dan pemilik modal.

Kita membayar pajak, tapi yang menikmati hasilnya adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan. Rakyat hanya jadi penonton dalam panggung demokrasi yang dimonopoli uang.

Madilog: Warisan Pemberontakan Intelektual

Tan Malaka bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah simbol dari keberanian berpikir. Madilog bukan kitab kering filsafat, tapi pedang tajam untuk melawan kebodohan yang dilestarikan.

Saat ini, ketika rakyat terus dihadapkan pada harga-harga yang tak ramah, korupsi yang makin halus, dan janji-janji kosong yang terus berputar, kita butuh semangat Madilog. Kita harus bertanya:

Siapa yang mengelola kekayaan negara ini? Untuk siapa pembangunan itu dirancang? Kenapa rakyat tetap jadi sapi perah?

Lawan Ilusi, Rawat Akal Sehat

Bukan hanya minyak, emas, atau nikel yang dirampok. Tapi juga kesadaran kita.

Tan Malaka telah mengajarkan: “Berpikir itu tindakan revolusioner.” Dan hari ini, revolusi paling mendesak bukan dengan senjata, tapi dengan logika. Dengan bertanya, dengan membaca, dengan menolak diperbodoh.

Karena negeri ini akan terus miskin—bukan karena tak punya uang, tapi karena rakyatnya tak lagi berani berpikir.***

Facebook Comments Box

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat
Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum
Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus
Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan
Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu
Banjir Tahunan Eretan Wetan : Warga Bertahan Di Tengah Janji Yang Tak Kunjung Datang
Air Zam-zam yang Tercemar Darah Tetangga: Ironi Ibadah dan Kemanusiaan
Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:57 WIB

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat

Senin, 10 November 2025 - 14:09 WIB

Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum

Senin, 10 November 2025 - 12:47 WIB

Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus

Senin, 10 November 2025 - 11:29 WIB

Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan

Senin, 10 November 2025 - 10:54 WIB

Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu

Berita Terbaru